Apakah aku ini orang terbuang, atau mungkin aku yang membuang diriku sendiri? Aku tahu Bandung bukan kota yang mengenalku. Tapi kenapa setiap jalanannya seperti menyimpan seluruh pecahan wajahku? Kutapaki aspal yang baru saja selesai dicumbu hujan sore tadi---terasa dingin & sama sepinya denganku---menyusuri Jalan Braga, menghirup aroma derita & starling seraya memandangi lalu-lalang manusia yang sibuk membeli kesenangan. Rasanya Bandung bagiku tak seromantis seperti kisah-kisah yang pernah kubaca di dalam novel. Kini kota ini dipenuhi oleh ilusi di mana cinta, estetika & harapan menjadi sebuah komoditas yang dibungkus dan dipajang rapi di dalam etalase kaca.
Sejenak aku teringat pada malam-malam di Dago tatkala angin menampar lamunanku. Sempat aku bertanya pada diriku sendiri, "Tuhanku yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, apakah ini yang dinamakan hidup?" Aku tak lagi punya arah, cinta bahkan cita yang harus kuraih selain kegetiran yang mendera di penghujung kantuk. Kadang aku tertawa pada diriku sendiri yang sempat berpikir kota ini akan menolongku. Nyatanya, Bandung tidak lebih dari sebuah labirin kesepian di mana setiap langkah terasa semakin menyesakkan. Tapi hidup harus terus berjalan, dan aku akan tetap bertahan dengan satu alasan: aku ingin melihat matahari terbit lagi pagi ini walau hanya untuk sekadar membuktikan bahwa aku belum lenyap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI