Dan yang paling menyentuh dari kisah ini adalah kenyataan bahwa ia tidak marah pada bangsa ini, tidak mengeluh karena tak dianggap, tidak sinis pada sistem, dan ia hanya bekerja dengan cinta.
Antara Fisik dan Makna
Prof. Herry sering menyebut bahwa dirinya memang tidak berada di Indonesia secara fisik, tapi seluruh visinya tetap tertuju pada tanah air. Ia bukan ilmuwan yang membangun menara gading, tetapi jembatan penghubung. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan yang tidak kembali kepada masyarakat, pada akhirnya akan kehilangan rohnya.
"Yang penting bukan pulang secara fisik. Tapi bagaimana kita tetap memberi makna."
Di tengah banyaknya kekecewaan dan eksodus anak muda dari sektor riset dalam negeri, figur seperti Prof. Herry adalah harapan. Ia membuktikan bahwa ada cara lain untuk pulang melalui aksi nyata, kolaborasi, dan keberpihakan.
Refleksi untuk Generasi Berikutnya
Kisah Prof. Herry bukan sekadar biografi seseorang. Ini adalah undangan untuk merenung bahwa ilmu jika ditekuni dengan niat yang bersih, akan membuka jalan yang bahkan tidak kita bayangkan. Bahwa menjadi ilmuwan tidak harus selalu tinggal di laboratorium. Kita bisa menjadi bagian dari perubahan, di mana pun kita berpijak.
Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa gelar dan prestasi akademik hanyalah alat. Yang menentukan arah bangsa bukan seberapa panjang titel di belakang nama, tapi seberapa dalam kita menggali manfaat dari ilmu itu.
Prof. Herry menunjukkan bahwa ilmuwan tidak harus bising. Cukup konsisten, rendah hati, dan terus berjalan. Ia adalah contoh bahwa ilmu bisa pulang diam-diam, lewat cahaya yang ia pancarkan dari jauh.
Penutup
Tulisan ini saya dedikasikan bukan hanya untuk Prof. Herry, tapi untuk semua anak bangsa yang sedang bertanya-tanya, apakah jalan yang aku tempuh ini akan berarti? Jawabannya iya!, jika kau menempuhnya dengan kejujuran dan keberpihakan.