Mohon tunggu...
Lutfillah Ulin Nuha
Lutfillah Ulin Nuha Mohon Tunggu... Wahabi Lingkungan

Tumbuh sehebat do'a ibu | Menjadi ruang bagi ide-ide yang dianggap terlalu idealis untuk dunia yang sibuk menghitung untung-rugi |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sholat Istisqa di Negeri yang Membakar Dirinya Sendiri

28 Juli 2025   18:08 Diperbarui: 28 Juli 2025   18:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kajian Shubuh Ilmiah UAS & Rocky Gerung (Sumber : Dok. Polda Riau 2019)

Di tahun 2019, dalam forum bertajuk "Kajian Subuh Ilmiah: Alam dan Kita dalam Perspektif Agama dan Sains" di Mapolda Riau, Ustadz Abdul Somad (UAS) menyampaikan satu kalimat pendek yang hingga kini masih menggaung di ruang kesadaran publik:

"Saya selalu menolak jadi imam sholat Istisqa. Karena yang membakar itu juga ikut sholat."

Ucapan itu sempat disambut tawa ringan oleh sebagian hadirin. Tapi bagi siapa yang mendengar dengan hati bersih, itu bukan guyonan. Itu kritik paling tajam, khutbah yang tak disampaikan dari mimbar, melainkan dari nurani yang terusik.

Enam tahun telah berlalu sejak pernyataan itu diucapkan. Tapi kabut asap tetap datang seperti musim yang rutin, pembakaran hutan dan lahan masih berulang, dan kita masih menyaksikan ironi, mereka yang menjadi bagian dari kerusakan, juga menjadi bagian dari barisan doa memohon hujan.

Padahal semua tahu, sebagian besar kebakaran bukan disebabkan kemarau panjang semata. Ini soal kerakusan. Ini soal pembukaan lahan secara ilegal, sistemik, dan dilanggengkan oleh diamnya penegakan hukum. Laporan demi laporan investigatif telah mengungkap fakta-fakta itu. Tapi seolah langit lebih mudah disentuh dengan doa daripada bumi dibersihkan dari keserakahan.

Dan di tengah semua itu, muncul pertanyaan tajam, siapa sebenarnya yang paling layak memimpin doa? Dan siapa yang paling pantas untuk diam?

Pernyataan UAS bukan sekadar penolakan menjadi imam. Itu penolakan terhadap kemunafikan yang dibungkus religiusitas. Ketika agama dijadikan simbol, tapi tidak menyentuh akhlak dan kejujuran, maka sholat bisa jadi hanya formalitas yang kehilangan makna.

Doa akan kehilangan daya ketika hati yang mengucapkannya belum benar-benar bersih dari keterlibatan dalam dosa kolektif. Hujan pun enggan turun, bukan karena langit tertutup, tapi karena bumi dipenuhi asap kebohongan.

Tahun 2025, negeri ini kembali menghadapi ancaman krisis ekologis. Kekeringan, gelombang panas, dan polusi udara kini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal peradaban. Ketika doa terus dipanjatkan namun bumi terus dilukai, barangkali yang perlu dipertanyakan bukan kapan hujan akan datang, melainkan kapan kita benar-benar bertobat?

Ustadz Abdul Somad, dengan satu kalimat pendek di masa lalu, telah memberi pelajaran yang masih relevan hingga hari ini: bahwa menolak menjadi imam bukan berarti meninggalkan kewajiban, tapi menjaga integritas iman. Dan barangkali, kita perlu lebih banyak "imam yang menolak", agar umat mulai jujur bertanya: apakah kita masih pantas memohon hujan, sementara kita sendiri tak henti menyalakan api?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun