Di banyak warung kopi pedesaan, rokok ilegal bukan sekadar barang selundupan, tapi sudah menjadi bagian dari keseharian. Ia dijual tanpa pajak, tanpa label resmi, dan tentu saja tanpa belas kasihan dari negara. Tapi justru di balik ketiadaan legalitas itulah, rokok ilegal tumbuh sebagai bentuk perlawanan ekonomi rakyat kecil terhadap sistem yang hanya menguntungkan konglomerat.
Rokok Ilegal, Nafas yang Masih Bisa Dibeli
Coba tanyakan pada buruh harian, tukang becak, atau petani kecil: berapa harga sebungkus rokok legal hari ini? Jawabannya bisa membuat mereka geleng kepala. Harga rokok legal terus melonjak akibat bea cukai yang makin menggila. Pemerintah berdalih ini untuk "menjaga kesehatan masyarakat", padahal di sisi lain mereka masih menjadikan cukai rokok sebagai sapi perah APBN. Ironis.
Rokok ilegal hadir sebagai alternatif "murah", mudah dijangkau, dan tidak memaksa rakyat harus memilih antara "rokok atau makan". Apakah ini melanggar hukum? Ya. Tapi siapa yang memaksa hukum itu lahir kalau bukan sistem ekonomi yang tidak adil?
Bea Cukai: Legal Tapi Mencekik
Pemerintah seolah menjadikan bea cukai sebagai tameng moral. Namun dalam praktiknya, yang paling diuntungkan dari cukai tinggi adalah pabrik rokok besar yang mampu bertahan di tengah tekanan. Sementara industri kecil merana, ditindas pajak dan diburu penegak hukum. Rokok ilegal hanyalah akibat, bukan sebab.
Maka jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menghapus peredaran rokok ilegal, jalan keluarnya bukan sekadar razia dan sanksi. Jalan keluarnya adalah menghapus atau minimal menurunkan drastis bea cukai rokok agar produk legal kembali terjangkau. Saat rokok legal bisa dibeli seharga rokok ilegal, kebutuhan rakyat akan tercukupi, dan motif membeli yang ilegal akan hilang dengan sendirinya.
Siapa Penjahat Sebenarnya?
Lucunya, rokok ilegal disebut penjahat karena tak menyetor cukai. Tapi mari jujur: berapa banyak korporasi besar yang menikmati tax holiday, mengemplang pajak, lalu bebas berseliweran dalam konferensi bisnis pemerintah? Jika negara hanya galak pada pedagang kecil, dan lunak pada konglomerat, maka yang ilegal bukan lagi rokoknya tapi keadilan sosial itu sendiri.