Pemanfaatan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) sebagai alat pembayaran bagi negara menawarkan cara belanja instansi yang lebih sederhana, tetapi untuk menghindari potensi masalah dan risiko, implementasinya harus didukung oleh regulasi yang jelas, kesiapan sistem, serta pengawasan yang terbuka.
KKP merupakan kartu kredit untuk korporasi yang dikeluarkan bagi satuan kerja (satker) agar pengeluaran negara yang berasal dari Uang Persediaan (UP) dapat dilakukan dengan lebih fleksibel dan efisien. Dengan adanya KKP, instansi pemerintah tidak lagi perlu memungut PPh Pasal 22 atau PPN saat melakukan pembelian barang dengan kartu kredit negara, dengan beban administrasi yang dialihkan kepada penyedia atau rekanan PKP untuk mengurus pemungutan pajak. Ini memberikan peluang untuk menyederhanakan prosedur dan mengurangi beban birokratis antar instansi. Namun, inovasi ini tidak bisa dilaksanakan begitu saja; ia memerlukan dasar regulasi, kesiapan dunia usaha, serta pengawasan agar tidak mengalami penyalahgunaan.
1. Kepastian mengenai regulasi dan batasan pemakaian
Penggunaan KKP diatur oleh beberapa peraturan, termasuk PMK 196/PMK. 05/2018, yang menyatakan bahwa KKP dapat dipakai untuk pengeluaran barang operasional dan belanja modal, dengan batas maksimum setiap transaksi (misalnya hingga Rp 200 juta). Namun, peraturan juga menyatakan bahwa untuk pengeluaran jasa, pemotongan PPh Final (Pasal 4 ayat 2) atau PPh 23 tetap berlaku jika terutang. Hal ini perlu dijelaskan secara menyeluruh agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara pengguna KKP di lapangan.
2. Kesiapan penyedia dan infrastruktur pembayaran
Beberapa penyedia mungkin belum memiliki sistem Electronic Data Capture (EDC) untuk memproses KKP, yang merupakan salah satu kelemahan praktis. Jika tidak ada dukungan teknis dan insentif, pelaku usaha kecil dan menengah dapat terpinggirkan atau mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam sistem ini.
3. Potensi kurangnya pengawasan dan audit
Dengan penggunaan sistem yang lebih otomatis dan tanpa pungutan dari pihak instansi pemerintah, risiko penyalahgunaan atau manipulasi dalam pengeluaran negara harus diwaspadai. Data transaksi dari kartu harus mudah dilacak, diaudit, dan dipertanggungjawabkan. Tanpa pengawasan yang ketat, inovasi ini berpotensi membuka jalur bagi korupsi atau pengeluaran fiktif.
4. Keadilan pajak antar instansi dan penyedia
Karena instansi pemerintah tidak memungut PPh 22 atau PPN dalam transaksi melalui KKP, maka seluruh beban administrasi pajak dipindahkan kepada rekanan PKP. Penting untuk memastikan bahwa beban ini bersifat fleksibel dan tidak membebani rekanan kecil atau usaha mikro yang mungkin tidak siap secara administratif.
Peluang Optimalisasi dan Rekomendasi Kebijakan
Pelatihan untuk SDM instansi dan penyedia: Petugas keuangan satker, bendahara, dan bagian pengadaan perlu memahami cara kerja KKP, pajak masukan/keluaran, serta pelaporan keuangan yang relevan.
Insentif bagi rekanan mikro: Pemerintah bisa memberikan subsidi atau bantuan teknis agar UMKM yang bekerja sama bisa beradaptasi dengan sistem EDC atau persyaratan administrasi yang baru.
Sistem pemantauan waktu nyata: Transaksi KKP perlu dicatat secara digital secara langsung dan menyediakan dasbor pemantauan internal dan eksternal agar publik dapat ikut serta memantau.
Evaluasi dan revisi regulasi secara berkala: Jika ada hambatan dalam penerapan atau dampak negatif (termasuk beban administratif pada rekanan), regulasi harus diperbaharui agar sistem tetap dinamis dan adil.