Pagi ini terdengar pengarahan dari sebuuah SD dekat kantor. Dimana Kepala Sekolah memerintahkan semua siswa untuk memakai baju adat pada hari senin mendatang, untuk memperingati Hari Kartini. Setelah upacara di pagi hari akan dilanjutkan dengan lomba keluwesan dan lomba menyanyi. Saya rasa buka hanya SD dekat kantor ini saja yang akan memperingati Hari Kartini dengan mengenakan baju adat. Bahkan seingat saya ASN pun diminta mengenakan pakaian kebaya pada upacara peringatan Hari Kartini setiap tanggal 21 April. Sungguh, tidak ada yang salah, dengan mengenalkan baju adat pada anak-anak sejak dini, Karena banyak event yang bisa diperingati dengan mengenakan baju adat tanpa mengurangi makna perayaannya. Seperti peringatan Hari Kemerdekaan Hari Jadi Daerah, Hari Batik Nasional, Hari anak, Hari Ibu dan lain sebagainya. Karena, jika membaca tulisan-tulisan tentang Kartini dan pemikirannya, yakinkah kita  Kartini akan merasa bangga jika dirinya selalu diasosiasikan dengan perempuan yang sekedar berkebaya dan harum namanya?
Presiden Soekarno, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964, secara resmi menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini, dan Kartini diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanggal 21 April dipilih karena merupakan hari lahir R.A. Kartini (21 April 1879). Penetapan ini tidak hanya sebagai penghormatan terhadap jasa Kartini, tapi juga untuk memotivasi perempuan Indonesia agar terus melanjutkan semangat perjuangannya.
Raden Ajeng Kartini, seorang perempuan yang lahir di Jepara pada akhir abad ke-19, dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Namun, jika kita menilik lebih dalam, perjuangannya bukan hanya untuk hak-hak perempuan, melainkan juga untuk sistem pendidikan yang adil dan merata. Kartini menilai bahwa pendidikan adalah fondasi utama dalam membentuk masa depan bangsa, dan ia merasa sangat kecewa melihat bagaimana perempuan, terutama dari kalangan pribumi, diperlakukan secara diskriminatif dalam akses pendidikan.
Kartini hidup pada masa ketika perempuan, terutama dari kalangan non-Belanda, tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sejak kecil, ia hanya bisa belajar di dalam rumah, dibatasi oleh tembok budaya yang mengharuskan perempuan untuk 'tinggal di rumah' dan tidak berkecimpung dalam dunia luar. Namun, meskipun hidup dalam ruang yang sempit, Kartini memiliki semangat yang luar biasa untuk mencari ilmu. Ia merasa sangat terbelenggu oleh sistem yang membatasi kemampuan perempuan untuk berpikir secara bebas dan mandiri. Dalam surat-suratnya yang ditulis kepada teman-temannya di Belanda, seperti Estelle Zeehandelaar (Stella), seorang feminis dan aktivis perempuan dari Belanda dan Mevrouw Marie Ovink-Soer, istri dari pejabat Belanda yang tinggal di Hindia Belanda. Selain itu Kartini juga berkorespondensi dengan J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, yang kemudian menerbitkan kumpulan surat Kartini dalam buku Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Dan juga dengan R.M. Abendanon-Mandri, istri dari Abendanon, yang juga menjadi sahabat dan pendukung Kartini. Kepada merekalah, Kartini mengungkapkan keresahannya terhadap ketidakadilan ini. Surat-surat ini menjadi cermin dari pemikiran kritis Kartini yang menentang sistem yang mengekang perempuan.
Kartini sangat terkesan dengan pendidikan yang ia temui di Eropa, yang memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkembang lebih jauh. Dalam surat-suratnya, terutama yang ditujukan kepada Stella, ia menyatakan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang sama untuk belajar dan berkembang seperti laki-laki. Ia menulis, "Mengapa hanya laki-laki yang boleh memperoleh pendidikan, padahal perempuanlah yang pertama kali mendidik anak-anak mereka?" Kartini percaya bahwa pendidikan akan membuka jalan bagi perempuan untuk menjadi pribadi yang mandiri, tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga sebagai anggota masyarakat yang aktif.
Bagi Kartini, pendidikan adalah pintu gerbang menuju kebebasan berpikir. Dalam salah satu suratnya kepada Marie, Kartini menulis dengan penuh harapan: "Pendidikanlah yang akan mengubah hidup kami, memberi kami kesempatan untuk keluar dari belenggu ketidakpastian dan ketidakberdayaan." Pemikiran ini menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga untuk membangun harga diri dan kemandirian perempuan. Kartini berpendapat bahwa perempuan yang berpendidikan akan lebih mampu menentukan nasibnya, mengatur kehidupannya sendiri, dan bahkan berkontribusi dalam membangun masyarakat.
Pemikiran Kartini tidak hanya terbatas pada kritik terhadap ketidakadilan gender. KArtini juga menentang sistem pendidikan kolonial yang hanya menguntungkan kalangan elit Eropa. Di mata Kartini, sistem pendidikan pada masa itu terlalu eksklusif dan hanya memihak kepada segelintir orang. Ia merasa sangat kecewa dengan sistem yang tidak memperhatikan rakyat jelata, khususnya perempuan, yang terus terpinggirkan dari kesempatan belajar yang seharusnya mereka dapatkan.
Namun, meskipun sistem pendidikan pada masa itu sangat tidak memihak, Kartini tidak hanya mengkritik tanpa memberikan solusi. Ia berjuang dengan cara mendirikan sekolah untuk perempuan, meskipun dalam keterbatasan waktu dan sumber daya. Ia tahu bahwa meskipun banyak hambatan, pendidikan adalah alat paling ampuh untuk membawa perubahan. Kartini berharap agar perempuan Indonesia tidak hanya menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, tetapi juga perempuan yang memiliki daya saing dan kemampuan untuk berperan di ruang publik.
Kartini memandang pendidikan sebagai kekuatan untuk mengubah nasib dan membuka kesempatan. Dengan memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk belajar, Kartini yakin bahwa perempuan akan mampu membawa perubahan positif dalam masyarakat. Bahkan dalam surat-suratnya, ia menulis dengan optimisme bahwa suatu hari nanti, "mereka (perempuan) akan memimpin pergerakan bangsa ini, bukan hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik."
Pada tahun 1903, di usia 24 tahun, Kartini akhirnya menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Keputusan menikah ini bukan tanpa pergulatan. Kenyataan bahwa sang Bupati telah memiliki istri, membuatnya merasa tersudut antara idealismenya sebagai perempuan merdeka dan realitas budaya serta keluarga yang tidak mudah dibantah. Ia sangat memahami bahwa keputusan menikah dengan seorang pria yang telah beristri berarti mengkhianati keyakinan yang selama ini ia perjuangkan. Namun pada saat yang sama, ia pun menyadari bahwa peluang untuk mewujudkan cita-cita pendidikannya bisa terbuka melalui jalan ini.Kartini sempat khawatir bahwa pernikahan akan memadamkan semangat perjuangannya.