Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Filipina, dan Bangladesh, yang menunjukkan pertumbuhan permintaan sebesar 15% pada 2025. Selain itu, hilirisasi batubara, seperti pengembangan gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME), menjadi prioritas untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah.
Di sisi lain, permintaan domestik, terutama dari industri smelter nikel, diproyeksikan naik 3% pada 2025, mencapai 48,6% dari total produksi batubara. Ini menjadi penyelamat sementara di tengah lesunya pasar ekspor. Namun, tantangan tetap ada: bagaimana Indonesia bisa bersaing dengan negara seperti Mongolia, yang memiliki keunggulan geografis, atau Rusia, yang menawarkan harga diskon?
Jalan Keluar dari Krisis
Krisis ini bukan akhir dari industri batubara, tetapi sebuah wake-up call. Indonesia perlu berinovasi, mulai dari meningkatkan kualitas batubara hingga memperluas pasar ke negara-negara berkembang di Asia Selatan dan Afrika. Selain itu, efisiensi operasional dan kebijakan HBA yang lebih kompetitif harus menjadi prioritas agar batubara Indonesia tetap relevan di pasar global.
Bagi pelaku usaha, kini saatnya beralih ke strategi jangka panjang, seperti investasi di sektor energi terbarukan atau diversifikasi bisnis. Batubara mungkin masih menjadi backbone ekonomi Indonesia, tetapi tanpa langkah strategis, “kiamat batubara” bisa menjadi kenyataan yang lebih nyata dari prediksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI