Salah satu isu yang terus berulang, khususnya setiap bulan Desember, adalah isu toleransi dan ucapan Selamat Natal. Ucapan Selamat Natal---termasuk membantu, memfasilitasi, terlibat langsung dan menghadiri Perayaan Natal dan agama lain---sering dikaitkan dengan sikap dan bukti toleransi.
Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Dalam Islam, toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT Â dalam Surat al-Kafirun, ayat terakhir:
Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku (TQS al-Kafirun [109]: 6).
Namun demikian, Islam membolehkan kaum Muslim untuk berjual-beli, bertransaksi dan bermuamalah dengan non-Muslim. Islam juga memerintahkan kita untuk berbuat baik dan berlaku adil dan fair terhadap mereka.Islam melarang kita berlaku zalim, aniaya dan merampas hak-hak non Muslim.
Rasul saw. banyak memberikan teladan bagaimana bermuamalah dan memperlakukan non-Muslim tanpa melakukan toleransi yang salah kaprah dan kebablasan. Beliau menjenguk tetangga beliau non-Muslim yang sedang sakit. Beliau juga biasa bersikap dan berbuat baik kepada non-Muslim.
Namun demikian, toleransi bukan lantas memberikan ucapan selamat atas hari raya dan perayaan keagamaan agama lain. Masalah ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh. Tidak selayaknya masalah itu disepelekan, misalnya, dengan ungkapan, "Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu."
Yang harus diingat, ucapan selamat itu mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat. Juga menjadi ungkapan kegembiraan dan kesenangan bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan atau dicapai oleh orang yang diberi selamat.
Padahal Perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain itu adalah perayaan atas kesyirikan (menyekutukan Allah SWT).
Dari sini jelaslah bahwa mengucapkan Selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta merayakannya. Tentu lebih besar lagi keharaman dan dosanya.
Ada anggapan memakai atribut-atribut Natal bukan bagian dari peribadatan, sedangkan atribut itu adalah identik dengan Natal. Itu identik dengan orang Nasrani. Ini artinya memakai atribut Natal berarti menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. melarang tindakan demikian:
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka (HR Abu Dawud dan Ahmad).