Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sisi Gelap di Balik Narasi Indah Menjadi Pekerja Digital

15 Maret 2022   06:21 Diperbarui: 23 Maret 2022   23:08 1444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pekerja digital-photo by Antoni Shkraba from pexels

Bagi mereka yang bekerja sebagai desainer grafis, misalnya, sudah buat desain susah-susah sampai begadang, sedikit-sedikit disuruh revisi tapi malah diminta balik lagi ke desain awal, giliran nego harga si klien minta "harga teman" hanya karena sudah kenal akrab.

Ada pula yang kadang bersikap meremehkan seperti, "Kan kamu gambar pakai komputer/laptop. Bukan gambar manual. Kok mahal?" atau "Ah, cuma logo begini doang kok mahal!"

Padahal pakai bantuan teknologi pun tetap ada teknisnya sendiri yang tidak semua orang paham.

Pekerjaan desain itu termasuk pekerjaan seni. Jadi, sebenarnya yang kita hargai dalam bentuk materi (uang) bukan hanya hasil karyanya melainkan juga kreativitas dan idenya.

Bisa jadi di balik desain logo atau apa pun yang terlihat sederhana dan cuma gitu doang-menurut orang awam-sebenarnya punya filosofi mendalam. Kita saja yang tidak tahu kalau untuk menemukan inspirasi itu si desainer (barangkali) sampai jumpalitan.

Ketiga, tidak ada payung hukum yang mengatur hak dan kewajiban pekerja digital

Di balik gemerlap ekonomi digital dan narasi-narasinya yang tampak menjanjikan, pekerja digital juga rawan dieksploitasi.

Dilansir dari situs resmi ILO (11/05/2021), Armeilia Handayani, Staf Advokasi Trade Union Rights Center (TURC) berpendapat bahwa kemitraan antara pekerja digital dan pemilik pelantar digital telah menempatkan pekerja digital pada posisi yang rawan karena sulitnya akses akan hak-hak pekerja, seperti upah minimum, cuti berbayar, uang pesangon, lingkungan kerja yang layak dan sistem perlindungan sosial.

Ketiadaan perlindungan sosial yang memadai bagi pekerja digital akan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan itu merupakan pekerjaan utamanya (tidak punya pekerjaan sampingan lain), terutama yang berkaitan dengan dana pensiun.

Akibatnya, pekerja digital harus bekerja dengan jam kerja yang panjang tetapi tidak mendapatkan upah yang layak.

Tidak adanya kontrak kerja yang jelas juga membuat pekerja digital mudah kehilangan pekerjaan dan digantikan oleh orang lain.

Pekerja digital seperti driver ojek online (ojol), termasuk yang rentan mengalami eksploitasi semacam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun