Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Segar Artikel Utama

3 Alasan Mengapa Saya Tetap Berlebaran dengan Bahagia Meski Tanpa Baju Baru

7 Mei 2021   16:59 Diperbarui: 8 Mei 2021   05:33 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belanja baju| Sumber: Shutterstock.com/A By AboutLife via Kompas.com

Belanja baju baru seolah menjadi "ritual wajib" yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk menyambut Lebaran. Oleh karena itu, di hari-hari menjelang Lebaran, pusat perbelanjaan dipadati pengunjung. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak pusat perbelanjaan untuk memberikan promo-promo menarik. 

Pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan usai, nyatanya tidak menyurutkan minat masyarakat untuk memadati pusat perbelanjaan demi berburu baju baru. 

Seperti yang terjadi di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat,  beberapa waktu lalu di mana pengunjung membludak dan sejumlah pedagang ditertibkan oleh Satpol PP karena melanggar protokol kesehatan (prokes).

Tirto.id pernah melansir survei mengenai jenis pengeluaran terbanyak yang dilakukan oleh kaum muda Ibukota saat Ramadan dan Idul Fitri pada 2016 lalu, diperoleh bahwa pengeluaran untuk membeli baju termasuk salah satu yang terbanyak di antara jenis pengeluaran lain. Dengan persentase sebesar 49,86% pada bulan Ramadan dan 61,76% saat Lebaran. (Selengkapnya bisa dibaca disini).

ilustrasi belanja baru baru | sumber gambar : kalindoland.co.id
ilustrasi belanja baru baru | sumber gambar : kalindoland.co.id

Kebiasaan membeli baju baru untuk berlebaran sebenarnya juga saya lakukan setiap tahun. Namun sejak Ramadan dan Idul Fitri 2019 lalu hingga sekarang saya tidak membeli satu potong pun baju baru. Dan Alhamdulillah saya bisa tetap berlebaran dengan bahagia.

Padahal sebelumnya sempat kepikiran bahwa lebaran tanpa baju baru terasa ada yang kurang. Tapi setelah menjalaninya sampai hari ini, ternyata biasa-biasa saja. Apalagi kalau menilik kondisi sekarang. Kok bisa?

Pertama, lebih hemat pengeluaran.

Kalau dihitung-hitung, pengeluaran saya untuk beli baju baru setiap menjelang Lebaran lumayan juga sebetulnya. Totalnya bisa lebih dari Rp 500.000. Syukurlah, hal itu hanya saya lakukan setahun sekali. Kalau tiap bulan ya bangkrut lah saya. 

Saya pikir jumlah segitu kalau dipakai untuk investasi atau sedekah pasti lebih bermanfaat. Diinvestasikan mendulang cuan, disedekahkan mendulang pahala.

Dengan tidak membeli baju baru, pengeluaran tentu berkurang sehingga uangnya bisa saya alokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih penting.

Apalagi penghasilan juga sedang menurun selama pandemi sehingga memaksa saya untuk lebih bijak menggunakan uang.

Kedua, mengurangi isi lemari sehingga tidak sumpek

ilustrasi lemari pakaian yang penuh | sumber gambar : rimma.co
ilustrasi lemari pakaian yang penuh | sumber gambar : rimma.co

Sebetulnya saya bukan orang yang sering beli baju. Hanya setahun sekali, tepatnya adalah di momen-momen Ramadan dan Idul Fitri.

Selain suka mengincar yang ada diskonnya, saya juga biasanya cari yang beli dua gratis satu. Biar kelihatan banyak yang dibeli haha.

Yang begini saja sudah bisa membuat lemari saya penuh, gimana kalau sering-sering?

Sayangnya, beberapa pakaian yang pernah saya beli hanya dipakai sekali dua kali. Setelah itu jarang atau malah tidak pernah dipakai lagi. Akhirnya banyak yang cuma menumpuk di lemari dan bikin sumpek. Jadi mubazir kan?

Untungnya, ada beberapa yang kemudian saya hibahkan ke orang lain sehingga isi lemari lebih longgar. Lebih mudah pula ditata.

Selain itu, saya merasa tidak terlalu pusing mau pakai baju apa kalau hendak keluar rumah untuk berbagai keperluan. Karena baju yang saya miliki lebih sedikit, sudah tersortir sesuai kebutuhan sehingga tidak terlalu banyak pilihan.

Ketiga, tidak harus berdesak-desakan dengan banyak orang saat berbelanja

ilustrasi pengunjung berdesak-desakan saat belanja baju baru | sumber gambar : megapolitan.kompas.com
ilustrasi pengunjung berdesak-desakan saat belanja baju baru | sumber gambar : megapolitan.kompas.com

Jauh sebelum pandemi melanda, saya memang bukan orang yang suka dengan keramaian apalagi kalau sampai berdesak-desakan seperti saat orang-orang sedang asyik berburu diskon.

Entah kenapa saya kalau berada di keramaian seperti itu kepala rasanya pusing dan cepat sekali lelah. Seolah-olah energi saya disedot habis. Padahal sebelumnya saya baik-baik saja dan tidak dalam kondisi sakit.

Makanya dulu kalau belanja baju Lebaran, saya lebih suka datang saat masih awal-awal Ramadan atau beberapa hari sebelum masuk tanggal 1 Ramadan. Kenapa?

Alasannya di waktu-waktu itu mal tidak seramai seperti saat dekat-dekat Lebaran. Hari-hari dekat Lebaran itu berarti termasuk 10 hari terakhir Ramadan. Nah, daripada 10 hari terakhir Ramadan saya kacau gara-gara mikir diskonan, mending saya memfokuskan diri pada ibadah di hari-hari krusial ini.

Kondisi pandemi yang menuntut kita untuk menghindari kerumunan justru menjadi alasan kuat bagi saya untuk tidak keluyuran di maal demi baju baru.

Eh, tapi kan bisa disiasati dengan belanja online? 

Iya juga sih. Tapi untuk barang-barang tertentu, seperti baju, saya lebih suka beli langsung di tokonya. Karena saya bisa sekalian memperhatikan detail bajunya secara langsung, terutama bahannya. Apakah bahannya nyaman atau tidak. Saya butuh menyentuh barangnya terlebih dulu untuk mengetahuinya. 

Saya tidak tahu bagaimana awal mulanya baju baru menjadi sebuah keharusan di setiap Lebaran. Karena setahu saya yang diajarkan dalam agama adalah "kenakan pakaian terbaikmu" bukan pakaian terbarumu. Dan pakaian terbaik itu tidak mesti baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun