Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Glass Ceiling Effect: Ketika Potensi dan Cita-Cita Perempuan Terbentur oleh Stereotipe dan Diskriminasi

10 April 2021   07:26 Diperbarui: 11 April 2021   14:39 2481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi glass ceiling effect bagi karyawan perempuan | sumber gambar: Doris Liou via slate.com

Sebelum masuk ke pembahasan tentang topik ini, izinkan saya menanyakan beberapa hal berikut.

Di tempat kerja Anda saat ini (yang sebelum-belumnya juga boleh deh, kalau ada), berapa jumlah perempuan yang menduduki posisi top management? Berapa perbandingan (dikira-kira saja) antara laki-laki dan perempuan yang menduduki posisi tersebut? Menurut Anda, kenapa karyawan perempuan lebih sulit mendapatkan posisi itu?

Lalu, satu pertanyaan lagi.

Adakah rekan-rekan perempuan di sini yang alumni Fakultas Teknik dan mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan impian karena job requirement-nya mensyaratkan atau mengutamakan pelamar laki-laki? Kalau ada, boleh lho cerita-cerita di kolom komentar.

Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, mari kita kuliti satu-satu persoalan di atas.

Pengertian Glass Ceiling

Glass ceiling is an intangible barrier within a hierarchy that prevents women or minorities from obtaining upper-level position- (Merriam Websters)

Kalau diartikan ke bahasa Indonesia, glass ceiling ini kurang lebih artinya adalah suatu penghalang tak berwujud dalam hierarki atau struktur organisasi yang menghalangi perempuan atau minoritas dari menduduki posisi yang lebih tinggi.

Kebalikan dari glass ceiling adalah glass escalator, yaitu kesempatan dan kemudahan bagi karyawan laki-laki untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi. 

Fenomena ini lazim ditemukan di female-dominated industry atau industri yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, seperti healthcare, pendidikan anak usia dini dan dasar, industri fesyen dan kosmetik.

Walaupun teori yang diperkenalkan oleh Christine .L. Williams pada tahun 1992 ini ia temukan di female-dominated industry, sebenarnya fenomena ini juga terjadi di male-dominated industry atau industri yang mayoritas pekerjanya laki-laki.

Namun, di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, khususnya di industri-industri teknologi sekelas Silicon Valley, glass escalator tidak hanya terkait masalah gender, tapi juga aspek lain, seperti latar belakang ras, etnis bahkan orientasi seksual. 

Dan yang lebih diuntungkan adalah laki-laki kulit putih heteroseksual dibandingkan laki-laki kulit hitam, keturunan Asia dan laki-laki Hispanic yang merupakan minoritas.

Fenomena Glass Ceiling di Dunia Kerja

Glass ceiling bisa menghambat perempuan untuk meraih posisi-posisi strategis dalam perusahaan. Oleh karena itu, kerap ditemukan bahwa semakin tinggi posisi atau jabatan, jumlah perempuan yang mendudukinya semakin sedikit.

Apabila digambarkan dalam bentuk piramida, maka jumlah perempuan yang menduduki posisi eksekutif makin mengerucut. Contohnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

piramida S&P 500 Companies | tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 tentang Glass Ceiling
piramida S&P 500 Companies | tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 tentang Glass Ceiling

Dari daftar S&P 500 Companies pada gambar di atas, diketahui bahwa hanya ada 29 perempuan atau sekitar 5,8% yang menyandang jabatan CEO.

Bahkan di industri yang cewek banget sekali pun, seperti industri fesyen, hanya 14% brand besar yang dipimpin perempuan.

Hal yang sama juga terjadi pada industri kosmetik atau produk-produk kecantikan, di mana konsumennya mayoritas perempuan dan produk-produk yang dipasarkan adalah produk-produk yang biasa dikonsumsi perempuan.

Sebut saja, perusahaan-perusahaan yang menaungi brand-brand kosmetik ternama dunia, seperti Estee Lauder Companies Inc. dengan persentase perempuan dalam jabatan eksekutif 20%, L'Oreal Group sebesar 28%, dan Coty Inc sebesar 0%.

contoh data jumlah perempuan pada jabatan eksekutif di Estee Lauder Companies Inc | tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 
contoh data jumlah perempuan pada jabatan eksekutif di Estee Lauder Companies Inc | tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 

Di male-dominated industry nasib pekerja perempuan juga sama mirisnya.

Riset yang dirilis oleh Harvard Business School menunjukkan sebanyak 56% perempuan yang bekerja di industri teknologi memilih resign dari pekerjaannya dikarenakan kultur perusahaan yang seksis.

data dari riset Harvard Business School | hasil tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 tentang Glass Ceiling
data dari riset Harvard Business School | hasil tangkapan layar dari video Youtube Gitasav, Beropini Eps.71 tentang Glass Ceiling

Saya juga kerap mendengar cerita teman-teman perempuan yang berlatar belakang pendidikan Fakultas Teknik mengalami kesulitan ketika ingin bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya karena kualifikasi yang dicari sebagian besar adalah untuk laki-laki.

Kalau pun mereka mendapatkan pekerjaan tersebut, kadang-kadang malah diberikan job desc lain yang tidak berhubungan dengan posisinya.

Misalnya, seorang perempuan bekerja sebagai software engineer namun ia malah lebih banyak diberi pekerjaan-pekerjaan administratif sehingga skill tekniknya kurang berkembang.

Di sektor pemerintahan dan birokrasi, ketimpangan gender pada jabatan struktural PNS masih signifikan.

Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) periode 2011-2012 dan 2014-2016 yang diolah oleh lembaga riset Cakra Wikara Indonesia (CWI) menunjukkan saat rekruitmen, proporsi laki-laki dan perempuan di 34 kementerian relatif berimbang. Namun, seiring perjalanan karier, jumlah PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon masih jauh lebih sedikit daripada PNS laki-laki.

Pada periode 2011-2012, PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon 1-5 hanya 22,38%. Naik sedikit pada periode 2015-2016 dengan persentase sebesar 23,48% setelah UU ASN berlaku.

Ketimpangan ini rupanya juga terjadi pemerintahan daerah (pemda).

Kepala Sub Bagian Perencanaan Karier Pegawai BKN, Eunike Prapti Lestari Krissetyanti, mengatakan adanya peningkatan jumlah PNS perempuan dari tahun ke tahun. Tahun 2018, PNS perempuan mendominasi 51% dari total PNS seluruh Indonesia.

Namun, peningkatan ini masih belum diikuti peningkatan signifikan pada jabatan struktural. Tercatat bahwa secara nasional hanya 13% jabatan utama dan madya yang diduduki oleh perempuan.

Mengapa Bisa Terjadi Glass Ceiling?

Umumnya, glass ceiling terjadi akibat adanya stereotipe tentang feminitas dan maskulinitas. 

Stereotipe ini memunculkan anggapan akan dikotomi antara "pekerjaan laki-laki" dan "pekerjaan perempuan". 

Jadi, kalau ada rekan-rekan perempuan yang kerja di male-dominated industry, seperti di perusahaan teknologi, konstruksi, pertambangan, energi dan lain-lain, lalu lebih banyak diberi pekerjaan-pekerjaan administratif padahal maunya jadi engineer karena dulunya anak teknik.

Atau merasa sulit dapat promosi dan naik gaji, padahal mengerjakan pekerjaan yang beban kerjanya sama sulitnya dengan rekan kerja laki-laki, hasil kerja selalu memuaskan, loyalitas tinggi, dan segala tetek-bengek sudah dilakukan agar memenuhi syarat untuk bisa dapat promosi, eh, lha kok yang dipromosikan malah rekan kerja laki-laki yang medioker.

Kalau rekan-rekan perempuan ada yang mengalami ini, nah, itulah glass ceiling.

Stereotipe yang menyatakan bahwa perempuan itu lemah lembut, penyabar, penyayang, dan lebih dominan perasaan dibanding logika, dianggap kurang kompeten untuk menjadi pemimpin.

Perempuan juga dianggap kurang feminin jika mengerjakan pekerjaan yang harus utak-atik mesin atau barang-barang elektronik atau pekerjaan-pekerjaan lapangan, yang selama ini diidentikkan sebagai "pekerjaan laki-laki".

Akhirnya terjadilah bias gender dan diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

Padahal kalau perempuan itu memang kompeten di suatu bidang, kenapa tidak? Ya kan?

Lalu, kondisi perempuan yang harus cuti hamil dan melahirkan, mengurus anak serta adanya tanggungan akan pekerjaan domestik, ditambah belum adanya jam kerja yang lebih fleksibel bagi pekerja perempuan, penempatan di daerah lain (biasa terjadi bagi PNS), membuat perempuan dirundung dilema.

Perempuan akhirnya harus memilih antara keluarga atau karier. 

Padahal laki-laki tidak ada yang ditodong dengan pilihan ini.

Artinya, laki-laki tetap bisa jadi suami dan ayah (bahkan ada yang tidak malu untuk terlibat membantu istrinya mengerjakan pekerjaan domestik) namun tetap lancar jaya dalam meniti karier.

Itulah mengapa perempuan tidak banyak yang berperan sebagai pembuat kebijakan tertinggi atau menduduki posisi-posisi strategis di perusahaan, seperti Vice President, Senior Vice President, Chief Financial Officer (CFO), dan Chief Executive Officer (CEO).

Menerapkan Kesetaraan Gender di Dunia Kerja

Glass ceiling membuat perempuan mengalami tekanan kerja yang lebih berat. 

Stigma, stereotipe, diskriminasi, budaya patriarki hingga ancaman pelecehan seksual di tempat kerja masih menjadi momok bagi perempuan.

Tekanan-tekanan ini bisa memengaruhi kondisi fisik dan psikis perempuan sehingga berdampak buruk pada produktivitasnya.

Intinya, perempuan sengaja dibuat tertekan dan tidak nyaman agar laki-laki di lingkungan kerjanya punya legitimasi untuk menyatakan bahwa perempuan memang tidak becus dalam bekerja dan tidak punya kompetensi untuk menjadi pemimpin.

Lalu, bagaimana cara kita menerapkan kesetaraan gender untuk menekan terjadinya glass ceiling?

Pertama, memberi kesempatan bagi perempuan untuk membuktikan dirinya.

Biarkan perempuan membuktikan dirinya dengan caranya sendiri. 

Kemudian, nilailah dengan adil, objektif, dan profesional, apakah mereka kompeten dan layak atau tidak untuk sebuah pekerjaan atau jabatan.

Kedua, berikan mentor perempuan bagi pekerja perempuan

Ada kalanya perempuan malu dan canggung untuk "mendekati" atasan. Nah, atasan mereka inilah (SPV biasanya) yang seharusnya bisa menjadi mentor mereka. Mendekati disini maksudnya dalam konteks untuk pengembangan karier ya, bukan yang lain-lain.

Memiliki mentor perempuan bisa membuat perempuan lebih nyaman dan leluasa mengungkapkan masalah dan kesulitannya.

Dan sesama perempuan biasanya lebih peka serta memahami masalah yang dihadapi perempuan sehingga bisa dibantu untuk mencari solusi terbaik.

Ketiga, memberikan hak dan fasilitas yang mendukung perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ibu dan pekerja

Adalah Kokok Herdhianto Dirgantoro---CEO Perusahaan Opal Communication---salah satu sosok yang berani memberi cuti hamil 6 bulan bagi karyawan perempuan perusahaannya.

Di saat perusahaan lain umumnya hanya memberi jatah cuti hamil maksimal 3 bulan, ia berani mengambil kebijakan itu.

Kokok mengaku bahwa perusahaannya tidak mengalami kerugian akibat memberikan cuti hamil 6 bulan, di mana gaji tetap dibayarkan utuh.

Menurutnya lagi, cuti ini tidak hanya diberlakukan untuk perempuan, tetapi juga laki-laki agar bisa menemani istri dalam menjalani proses persalinan maupun pasca melahirkan.

Selain itu, perusahaan bisa menyediakan fasilitas, seperti ruang laktasi untuk karyawan perempuan yang masih menyusui bayinya. Lalu, jam kerja yang lebih fleksibel bagi karyawan perempuan agar mereka bisa mengurus anak dan rumah, bisa juga dipertimbangkan.

Mekanisme dan hitungan biaya serta manfaatnya (cost and benefit) seperti apa, silakan dipikir sendiri.

Referensi : 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun