Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Beauty Privilege: Ketika Orang Cakep Selalu Diperlakukan dengan Lebih Baik

16 Januari 2021   17:24 Diperbarui: 3 Maret 2022   03:55 2216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi-photo by Andrea Piacquadio from pexels

"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking" 

Banyak yang bilang kalau punya wajah rupawan setidaknya akan membuat setengah dari masalah hidupmu terselesaikan. Sedangkan setengahnya lagi akan terselesaikan kalau kamu punya banyak uang. Apalagi kalau udah cakep, tajir pula. Kelar tuh urusan hidup. Hmm, apakah benar seperti itu? 

Percaya atau tidak, hal ini benar adanya. Inilah yang dinamakan beauty privilege atau berkah kecantikan-adalah hak istimewa yang diperoleh seseorang karena memiliki wajah rupawan. 

Para pemilik wajah rupawan ini disebut-sebut dapat menjalani hidupnya dengan lebih mudah dibandingkan mereka yang berwajah alakadarnya atau tidak menarik.

Ada banyak riset yang menunjukkan korelasi antara daya tarik fisik seseorang dengan tingkat kesuksesan dan kesejahteraan hidupnya. Di dunia kerja, misalnya, sebuah artikel yang dirilis oleh Forbes, menyebutkan bahwa orang-orang dengan fisik yang menarik memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, minimal dipanggil untuk melakukan sesi wawancara. Mereka juga berpeluang untuk mendapatkan penilaian yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi. 

Dalam dunia akademik, seseorang yang memiliki fisik menawan cenderung memiliki nilai akademik yang lebih baik dibanding mereka yang kurang menarik. Sebagian karena adanya anggapan bahwa mereka yang berfisik menawan lebih cerdas dan berbakat, walaupun belum tentu benar, dan sebagian karena adanya kesempatan yang lebih besar bagi mereka untuk menjadi cerdas. 

Seperti yang dilaporkan dalam Jurnal Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic Performance, mayoritas guru yang termasuk dalam sampling penelitian tersebut selalu menganakemaskan murid-murid yang memiliki fisik lebih menarik dengan harapan muridnya itu dapat lebih berprestasi. 

Para pengajar merasa bahwa anak-anak itu punya tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dan popularitas sehingga dapat memimpin murid-murid lainnya yang berpenampilan kurang menarik. 

Di bidang hukum, orang yang memiliki Attractiveness Leniency Effect (ALE)-sebutan lain beauty privilege-lebih banyak diganjar oleh hakim dengan hukuman yang lebih ringan di pengadilan. 

Alasannya karena mereka yang cantik atau tampan, berpenampilan lebih rapi, bersih dan lebih terlihat seperti orang baik-baik. Walaupun dalam beberapa kasus, putusan hakim bisa menjadi sangat bias rasial maupun kelas sosial. 

Sadar atau tidak, kita juga sering bersikap hiprokrit terhadap mereka yang melakukan kejahatan. Kalau mereka cantik atau tampan, kadang kita cuma bilang, "sayang ya cakep-cakep jadi pembunuh. sayang ya cakep-cakep narkobaan" dan bla..bla.. bla lainnya. Giliran pelaku tidak cantik atau tampan, kita ramai-ramai menghujat. 

Seolah-olah kalau pelaku kriminalnya cakep, dosa apapun yang dia lakukan pantas untuk dimaafkan bahkan kalau perlu dimaklumi. Semenntara kalau pelakunya kurang cakep lantas boleh dihujat seenak jidat. 

Buktinya? Tengoklah kasus pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan oleh Laeli Atik di Kalibata City dan kasus pembunuhan oleh Isabella Guzman di Colorado, AS. Perlakuan netizen pada mereka sungguh berbeda. Padahal keduanya sama-sama melakukan tindak kejahatan. 

Mengapa Penampilan Itu Penting? 

ilustrasi appearance-photo by Sora Shimazaki from pexels
ilustrasi appearance-photo by Sora Shimazaki from pexels

Dikutip dari Psychology Today, ternyata penampilan fisik tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi seseorang dalam mencari teman kencan atau romantic partner, baik dalam dunia maya maupun nyata. 

Walaupun awalnya seseorang mengatakan bahwa ia lebih mementingkan kepribadian yang baik dari calon pacar atau pasangannya, namun pada praktiknya tetap saja penampilan fisik menjadi hal pertama yang dinilai. 

Mereka memang tidak butuh pacar atau pasangan yang super cantik atau tampan layaknya supermodel atau bintang film ternama. Setidaknya kalau si perempuan atau laki-laki tersebut dinilai cukup enak dilihat, itu sudah cukup bagi mereka untuk mengajak kenalan-dan kalau dirasa cocok-melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius. 

Lalu, kalau orang masih melihat dan menilai dari penampilan, apa gunanya ada pepatah "don't judge the book by its cover"? 

Menurut saya, penampilan fisik tetap penting karena biar bagaimana pun ketika pertama kali bertemu seseorang pasti hal pertama yang bisa dilihat adalah penampilannya. 

Sementara kepribadian dan sikap seseorang akan tampak kemudian seiring dengan berjalannya proses interaksi. Oleh karena itu, penampilan tetap perlu diperhatikan untuk dapat memberikan citra dan impresi yang positif. 

Tapi, hal ini bukan berarti seseorang harus cantik atau tampan. Tidak perlu juga berpenampilan glamor, mahal dan mewah dari ujung kaki hingga ujung kepala. Asalkan bersih dan rapi pun tidak masalah. 

Benarkah Wajah Rupawan Selalu Membuat Urusan Hidup Lebih Mudah? 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin cerita sedikit tentang sebuah webtoon asal Negeri Gingseng yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan pernah dijadikan K-Drama, berjudul "My ID is Gangnam Beauty" (judul webtoon Indonesia : I am Gangnam Beauty). Kesan saya setelah menamatkan webtoon tersebut adalah bahwa punya wajah cantik pun bisa jadi petaka. 

Dikisahkan ada seorang gadis cantik bernama Hyun Sua yang merupakan tokoh antagonis dalam cerita tersebut, begitu populer dan banyak disukai oleh teman laki-laki di kampusnya.

 Orang-orang selalu memujinya dan memperlakukannya dengan ramah. Seolah-olah dengan kecantikannya itu, ia bisa dengan mudah mendapatkan apapun yang diinginkan. 

Namun, Sua memiliki masa lalu yang buruk. Mulai dari tumbuh di keluarga yang tidak harmonis hingga pernah menjadi korban perisakan oleh teman-teman sekolahnya karena penampilannya yang berantakan dan bau. 

Sampai suatu ketika ia beranjak remaja dan mulai mengerti bagaimana cara berpenampilan yang lebih menarik, anak-anak di sekolah selalu memujinya "cantik". 

Sejak saat itulah Sua menjadi sangat terobsesi pada kecantikan sehingga ia tidak senang ketika ada anak perempuan lain yang lebih cantik darinya. Ia akan merasa tersaingi dan takut kehilangan perhatian dari orang-orang di sekitarnya. 

Obsesinya yang tidak sehat pada kecantikan membuatnya merasa harus selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Oleh karena itu, ia sampai berpikir bahwa menjadi perempuan cantik berarti tidak boleh bersikap tegas, tidak boleh terlihat pintar, tidak boleh terlalu menonjol dan berbagai ekspektasi tidak masuk akal lainnya. Bahkan untuk menjaga agar tubuhnya tetap kurus, setiap habis makan, ia akan memuntahkan makanannya. 

Apa hal yang bisa kita petik dari kisah tersebut? 

Terlahir dengan wajah rupawan atau tidak, punya "bebannya" masing-masing. 

Kamu yang merasa punya wajah tidak menarik sering mengeluh betapa beratnya hidup sebagai orang jelek karena selalu mendapat penolakan. Entah ditolak kerja sampai ditolak pujaan hati. 

Mereka yang terlahir dengan wajah cantik atau tampan seringkali harus menghadapi ekspektasi yang kurang ajar dan tidak masuk akal. Ada jerawat sebiji dikomentarin. Gemukan dikit jadi korban body shaming. Kulit agak gelap karena habis pulang liburan dinyinyirin. Kayak yang komen nyinyir lebih cakep aja. Eh. 

Belum lagi dengan stereotip yang dilekatkan pada mereka yang cantik atau tampan, seperti cuma modal tampang atau cuma bisa dandan bagi perempuan. Hal inilah yang membuat mereka kadang harus berjuang lebih keras untuk membuktikan bahwa dirinya memang punya kemampuan dan kecerdasan. Bukan cuma modal visual. 

Bagaimana Kita Menyikapi Beauty Privilege?

Berbicara tentang beauty privilege atau bahkan privilege secara general, memang tidak sehitam-putih itu. Ada banyak faktor dan aspek yang bisa digali lebih jauh lagi. Termasuk apa yang saya tulis dalam artikel ini. 

Manusia pada dasarnya memang menyukai sesuatu yang indah, termasuk rupa seseorang. Namun, obsesi berlebihan pada kecantikan fisik itu berbahaya. 

Tidak hanya membuat orang lupa bersyukur atas fisik yang Tuhan berikan, tapi juga mendorong pada perilaku tidak adil terhadap mereka yang memiliki fisik kurang menarik.

Padahal baik atau buruk nilai seorang manusia bukan ditentukan dari fisiknya melainkan dari sikapnya. Sementara di hadapan Tuhan, derajat ketakwaan lebih penting dibandingkan keindahan rupa. 

Alih-alih meratapi nasib karena tidak berwajah rupawan, alangkah baiknya jika kita (kita?) berhenti memendam rasa iri dan nyinyir kepada mereka yang good looking. Berhentilah berpikir dan mengemis iba seolah-olah tidak cantik atau tampan telah membuat hidupmu nelangsa. Justru sebenarnya yang membuat hidupmu nelangsa adalah pola pikirmu sendiri. 

Iri bahkan bersikap salty pada mereka yang good looking tidak akan memberikan pengaruh signifikan pada hidupmu. It won't take you to anywhere. 

Jika kamu merasa tidak dapat mengubah tampilan fisikmu, setidaknya kamu masih bisa kok meningkatkan atau memperbaiki aspek lain dari dirimu, seperti kecerdasan, kemampuan dan sikap (attitude). Dengan demikian, kamu tetap punya "nilai jual" yang layak untuk dibanggakan. 

Referensi : 

satu, dua, tiga, empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun