Bayangkan dua ruang kelas berbeda di Indonesia hari ini.
Di satu sisi, sebuah universitas besar di ibu kota. Ruang kelasnya dilengkapi pendingin udara, proyektor modern, dan jaringan internet berkecepatan tinggi. Mahasiswa dengan mudah mengakses jurnal terbaru melalui langganan Elsevier atau Springer. Diskusi di kelas sering kali dimulai dengan kalimat, "Menurut artikel di Nature minggu lalu..." atau "Scopus mencatat tren riset terbaru...". Dosen di sana memiliki akun Turnitin pribadi, dan setiap artikel mahasiswa bisa dicek plagiasinya dalam hitungan menit. Bagi mereka, teknologi akademik global sudah seperti oksigen: tidak terlihat, tapi selalu tersedia.
Sekarang, bandingkan dengan sebuah kampus kecil di daerah. Ruang kelasnya sederhana, kipas angin berderit di langit-langit, dan koneksi internet sering kali putus saat hujan deras. Mahasiswa terbiasa mencari literatur di Google gratisan, hanya bisa mengakses abstrak tanpa pernah melihat isi lengkap artikel karena jurnalnya terkunci paywall. Dosen di kampus ini harus bergantian menggunakan satu akun Turnitin milik fakultas, dengan batas kuota yang sering habis sebelum semester selesai. Proses mengunduh artikel pun bisa memakan waktu belasan menit, hanya untuk mendapati file yang rusak karena jaringan tidak stabil.
Keduanya sama-sama bagian dari dunia akademik Indonesia. Keduanya sama-sama berusaha berkontribusi pada ilmu pengetahuan. Tetapi jalur yang mereka tempuh jelas tidak sejajar. Yang satu berlari di jalan tol digital dengan fasilitas lengkap, yang lain berjalan di jalan tanah berbatu, sering kali tersandung sebelum sampai tujuan.
Pertanyaannya kemudian: apakah kita rela jurang intelektual ini semakin melebar, hanya karena akses terhadap pengetahuan global ditentukan oleh siapa yang mampu membayar pintu masuknya?
Ilusi Kesetaraan Akademik
Platform seperti Google Scholar, Scopus, atau Elsevier kerap dipuji sebagai jembatan penghubung global. Mereka menjanjikan bahwa setiap dosen, entah di Kupang, Palu, atau Jakarta, dapat menempatkan karyanya di panggung yang sama. Di atas kertas, seorang peneliti dari universitas kecil seharusnya memiliki peluang yang setara untuk dilihat, dibaca, dan diakui sebagaimana koleganya di kampus ternama. Namun kenyataannya jauh lebih kompleks, bahkan cenderung timpang.
Metrik akademik yang ditentukan oleh platform asing telah menjadi semacam mata uang baru dalam dunia akademik. Indeks H, jumlah sitasi di Scopus, atau persentase plagiarisme yang diverifikasi Turnitin kini diperlakukan lebih penting ketimbang kualitas debat ilmiah di ruang kelas atau kontribusi riset pada masyarakat sekitar. Akibatnya, pengakuan akademik bergeser dari substance ke angka, dan angka itu---ironisnya---tidak bisa diakses secara merata.
Universitas besar dengan dana melimpah mampu berlangganan basis data Elsevier, Springer, atau Wiley. Mereka juga sanggup membayar biaya publikasi artikel (article processing charge) di jurnal bereputasi yang bisa mencapai 1.000 hingga 3.000 dolar per artikel. Tidak jarang, kampus elite bahkan memiliki unit khusus yang mengurus publishing support, dari proofreading berbayar hingga layanan pengiriman ke jurnal internasional.
Di sisi lain, universitas kecil sering kali hanya mengandalkan sumber terbuka (open access) atau bahkan menunggu "kiriman" file PDF dari kolega yang kebetulan memiliki akses. Dosen di kampus-kampus ini harus berpikir berulang kali sebelum submit ke jurnal internasional, karena biaya publikasi satu artikel bisa setara dengan gaji beberapa bulan. Bahkan, ketika berhasil menulis, proses publikasi sering tersendat hanya karena terbatasnya akses referensi terbaru.