Mohon tunggu...
Lukman Santoso
Lukman Santoso Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa fakultas hukum universitas Trunojoyo Madura

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dari Esai ke Intimidasi : Penulis Esai Konspirasi Prabowo didatangi Anggota FKMD

16 April 2025   11:21 Diperbarui: 16 April 2025   11:21 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan berpendapat menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah hak setiap warga negara untuk mengungkapkan pendapatnya, baik secara lisan maupun tulisan. Di Indonesia, kebebasan berpendapat dilindungi oleh UUD 1945. Selain itu, hak berpendapat juga tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi oleh PBB. Pasal 19 DUHAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan mengungkapkan pendapatnya. Kebebasan berpendapat juga dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan ini sehafusnya menjadi tameng bagi siapa pun yang ingin menyampaikan pendapatnya secara damai, baik lisan maupun tulisan. Namun, kejadian yang menimpa Hara Nirankara menunjukkan bahwa kebebasan itu bisa runtuh secepat kilat.

Kasus ini berawal dari seorang penulis dan pegiat media sosial, Hara Nirankara, didatangi dua orang tak dikenal di rumahnya, di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat, 11 April 2025. Hara menyebut orang asing tersebut mempersoalkan esai konspirasi soal Presiden Prabowo Subianto berjudul 'Presiden Tua Bangka dan Operasi Intelijen' yang dibuat olehnya.

Dikutip dari kabar harian Tempo.com :"Itu esai murni konspirasi alias halusinasi saya dan sudah saya kasih disclaimer," ujar Hara saat dihubungi Tempo pada Jumat malam, 11 April 2025. Usai mendapat kontak Hara, salah seorang pelaku menelepon dan mengatakan telah berada di dekat kediaman Hara. Dia mengira orang yang meneleponnya itu adalah kurir yang akan mengantar barang ke rumahnya. Tanpa menaruh curiga Hara pun memberikan alamatnya.

Saat kedua pelaku telah sampai di depan rumahnya, Hara baru merasa curiga. Menurut Hara mereka tidak seperti kurir karena tidak membawa keranjang barang seperti biasa. Apalagi posisi kedua pelaku berboncengan dengan satu motor. Namun, Hara tetap mempersilakan kedua pelaku tersebut untuk masuk rumahnya terlebih dahulu.

"Saya berontak lalu keluar rumah sambil bilang 'Maling, Begal!'. Tetangga pada denger dan ikutin teriak begal," ujar Hara. Usai diteriaki maling dan begal, kedua orang tak dikenal itu pergi meninggalkan rumahnya.

Peristiwa ini juga dibagikan oleh Hara di media sosial X miliknya. Postingan itu mendapat lebih dari tiga juta penayangan di media sosial tersebut hingga Jumat malam. Hara sipenulis esai tersebut masih belum bisa mengonfirmasi identitas dua orang tak dikenal itu. Namun, salah seorang pengguna media sosial di X menyebut salah satu pelaku merupakan anggota Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pekalongan berdasarkan nomor telepon pelaku yang dibagikan oleh Hara di media sosialnya. Kasus yang menimpa Hara Nirankara adalah potret nyata bagaimana kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dapat begitu mudah dikhianati dalam praktiknya. Hara, seorang penulis dan pegiat media sosial, hanya menuangkan imajinasi dan kritiknya melalui esai berjudul "Presiden Tua Bangka dan Operasi Intelijen"sebuah karya yang secara terang-terangan ia sebut sebagai fiksi dan konspirasi imajiner. Namun, respons yang ia terima bukanlah diskusi atau bantahan secara intelektual, melainkan intimidasi dalam bentuk kedatangan dua orang asing ke rumah pribadinya. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan kekuasaan untuk melabeli kritik sebagai ancaman, dan bukan sebagai bagian dari kebebasan sipil yang harus dihormati. 

Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai kasus sepele. Ketika aparat atau pihak yang diduga memiliki hubungan dengan instansi pemerintah mendatangi seorang penulis hanya karena opini yang ditulisnya, itu adalah sinyal bahaya. Ini menandakan bahwa sistem mulai menoleransi praktik pembungkaman atas nama stabilitas atau loyalitas terhadap kekuasaan. Padahal, demokrasi yang sehat dibangun dari ruang-ruang berbeda, termasuk suara-suara sumbang yang justru menjadi penyeimbang kekuasaan. Bila kritik dibalas dengan teror, maka yang sedang tumbuh bukanlah demokrasi, melainkan ketakutan. Sesuatu yang makin menambah keprihatinan adalah dugaan bahwa salah satu pelaku yang mendatangi Hara berasal dari Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), sebuah lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai mata dan telinga pemerintah dalam mendeteksi potensi konflik sosial serta gangguan terhadap ketertiban umum. FKDM berada di bawah koordinasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), dan semestinya bekerja secara preventif melalui pendekatan komunitas, bukan sebagai alat represi terhadap kebebasan berekspresi. Jika benar keterlibatan anggota FKDM dalam kasus ini, maka hal itu menjadi pandangan buruk sekaligus penyalahgunaan fungsi kelembagaan. FKDM bukan aparat penegak hukum, bukan pula lembaga penyidik. Mereka tidak memiliki kewenangan untuk mendatangi warga secara pribadi atas dasar opini atau karya yang bersifat kritik. Peran mereka bukan untuk menekan, melainkan mendeteksi dini potensi gangguan social bukan menciptakan gangguan itu sendiri. Kehadiran orang yang mengatasnamakan lembaga negara ke rumah warga sipil hanya karena sebuah esai satir adalah bentuk teror psikologis. Ini bukan hanya pembungkaman terhadap satu orang, tapi pesan yang menakut-nakuti publik agar berpikir dua kali sebelum berbicara, menulis, atau menyampaikan pandangan yang berseberangan dengan kekuasaan. Ini adalah bentuk sensor tidak resmi yang jauh lebih berbahaya, karena tidak terlihat secara legal, tetapi terasa secara nyata. Lantas, di mana batas antara kewaspadaan dan pelanggaran kebebasan sipil? Ketika organisasi seperti FKDM tidak diawasi secara ketat dan tidak transparan dalam menjalankan tugasnya, maka sangat mudah bagi lembaga-lembaga ini digunakan untuk membungkam kritik atas nama keamanan. Padahal, dalam negara demokratis, kritik terhadap pemimpin adalah bagian sah dari partisipasi politik warga. Menulis essay, membuat satire, atau bahkan menyampaikan opini paling pahit sekalipun tidak boleh dijadikan alasan untuk intimidasi. Kita sebagai mahasiswa tidak boleh tinggal diam. Kasus Hara adalah peringatan bahwa kebebasan berekspresi yang kita nikmati hari ini bisa berubah menjadi kenangan jika tidak dijaga. Ketika tulisan bisa membuat seseorang didatangi, maka yang sedang dibungkam bukan hanya suara individu tetapi masa depan demokrasi itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun