Indonesia adalah salah satu negera paling unik di dunia. Beragamnya suku, ras, dan agama/kepercayaan, membuat Indonesia terlihat unik di mata dunia.
Akhir-akhir ini, ada beberapa kejadian yang mengkhawatirkan keutuhan kebhinekaan yang Indonesia miliki. Sebut saja kasus radikalisme, intoleransi dan menjamurnya hoax.
Ketiga poin tersebut menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Karena pada dasarnya, kejadian itu diakibatkan piciknya atau rendahnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat bahkan mahasiswa Indonesia. Mari kita urai satu per satu:
Radikalisme dalam pengertian yang kita pahami selama ini adalah suatu ideologi yang  merasa benar sendiri dan menganggap yang berbeda darinya merupakan salah atau kafir. Maka ketika sudah kafir, halal darahnya untuk dibunuh. Radikalisme dan intoleransi ini biasanya berbarengan.
Para pelaku tersebut pun berasal dari orang yang mengaku "Islam". Padahal, sama sekali Islam tak pernah mengajarkan hal seperti itu pada ummat-nya. Para mahasiswa dan dosen juga ikut-ikutan terpapar radikalisme ini.
Menurut Azyumardi Azra, para akademisi yang terpapar radikalisme diakibatkan oleh 4 hal:
Pertama, sebelum menjadi dosen, mereka sudah aktif di organisasi-organisasi yang memang cenderung ke kanan.
Kedua, kalau mereka tidak aktif dalam organisasi radikal, mungkin karena keilmuannya. Keilmuan eksakta, misalnya. Ilmu alam itu cenderung melihat dunia sebagai hitam-putih. Jadi, orang-Islam yang cenderung hitam putih lebih mudah biasanya terpapar atau menerima ide-ide radikalisme.
Ketiga, mungkin dosen itu tidak memiliki pemahaman Islam yang komprehensif, mengenai macam-macam lah, mengenai politik, ekonomi atau mungkin mengenai fikih atau soal teologi.
Keempat, mereka tidak paham isu-isu politik Indonesia; misalnya, menyangkut katakanlah demokrasi. Ada yang bilang demokrasi tidak sesuai dengan politik Islam; dia dengan cepat menerima itu. Atau, misalnya ekonomi Indonesia sudah neoliberal: "Kita sedang dijajah." Karena dia tidak paham soal politik dan ekonomi Indonesia, dia terima saja argumen itu, sehingga kemudian mudah menerima paham politik dan ekonomi yang radikal.