Mohon tunggu...
Lukas Indra
Lukas Indra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Spasialisasi dalam Digitalisasi Konten Media

9 Oktober 2018   02:50 Diperbarui: 9 Oktober 2018   03:20 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: steihamfara.ac.id

Istilah "Media Baru" sering disebut, didengar, maupun diperdengarkan. Salah satu karakteristik media baru ialah digitalisasi. Teknologi ini memungkinkan konten disajikan dalam berbagai bentuk, yakni video, audio, dan teks. Konten-konten itu dimuat dalam suatu berita tertentu yang biasanya dapat diakses menggunakan internet. 

Akan tetapi, hal tersebut justru memunculkan lahan kapitalisme baru yang dimanfaatkan oleh media. Tulisan ini akan membahas lahan baru kapitalisme akibat dari karakteristik media baru, yakni digital, menurut pandangan Ekonomi Politik  Komunikasi, khususnya dalam ranah spasialisasi.

Media Baru

Menurut Lister dkk (2009), media dapat dikategorikan sebagai media baru apabila memenuhi enam (6) karakteristik media baru. Karakteristik-karakteristik tersebut ialah digital, interaktif, hypertextual, virtual, networked, dan simulated. Apabila media telah memenuhi setidaknya empat (4) karakteristik tersebut, maka dapat dikatakan media tersebut merupakan media baru.

Digitalisasi Media

Digital dapat diartikan data yang masuk diubah menjadi semacam penomoran sesuai dengan kaidah komputerisasi (Lister dkk, 2009, hal. 16). Data itu kemudian dapat disajikan melalui CD, DVD, atau diunggah ke situs web. Artinya, dalam menyajikan konten tidak perlu lagi hardware, misalnya kertas, seperti versi terdahulu yakni analog.

Digitalisasi tersebut memisahkan teks dengan kertas. Teks, kini, tidak melulu disajikan dalam bentuk kertas, bahkan teks dapat berbentuk bukan fisik, misalnya sajian teks dalam kertas. Tulisan (teks) kini dapat diakses dengan bantuan komputer.  

Ekonomi Politik

Ekonomi Politik merupakan studi mengenai relasi kuasa antara produksi, konsumsi, dan distribusi sumber daya yang bersifat resiprokal (Mosco, t.t., hal. 25). Ekonomi politik sendiri mengacu pada relasi kuasa antara struktur dan agen. Lebih lanjut lagi, ekonomi politik berusaha mewujudkan tatanan ekonomi masyarakat yang lebih manusiawi (kutipan dalam Muktiyo, 2015, hal. 114). Salah satu konsep penting Mosco berkaitan dengan Ekonomi Politik adalah spasialisasi.

Spasialisasi

Spasialisasi dalam Mosco (t.t., hal. 14) adalah kondisi di mana media mengatasi ruang dan waktu. Media dapat menyebarluaskan konten-konten mereka mengatasi ruang dan waktu. Maksudnya, konten-konten tersebut dapat dinikmati oleh audiens kapanpun dan dimanapun.

Hal tersebut juga didukung oleh digitalisasi media. Salah satu akibat dari digitalisasi media ialah konvergensi media. Istilah konvergensi merujuk pada konten-konten media yang berintegrasi (Hartley, 2010). Video, audio, maupun teks kini dapat dimuat dalam satu medium. Teks tidak selalu merujuk pada surat kabar, video tidak melulu merujuk pada televise, dan audio pun tidak hanya melalui radio. Bentuk-bentuk konten tersebut dapat terintegrasi melalui satu medium, yakni internet.

Spasialisasi dibagi menjadi dua, yakni spasialisasi horisontal dan spasialisasi vertikal (Mosco, t.t., hal. 15). Spasialisasi horisontal berarti media menguasai berbagai bidang media massa, seperti surat kabar, televisi, dan radio. Sementara, spasialisasi vertical mengarah pada penguasaan bidang produksi konten. Hal tersebut bertujuan untuk mengawasi produksi konten media. Contohnya, penguasaan produksi surat kabar mulai dari percetakan hingga distribusi surat kabar.

Sumber: philebersole.wordpress.com
Sumber: philebersole.wordpress.com

Analisa

Digitalisasi media sebenarnya hanya merupakan perpanjangan dari spasialisasi horisontal. Media mainstream hanya menambah medium penyampaian konten kepada audiens.  Artinya, digitalisasi digunakan sebagai sumber profit baru selain media konvensional. Apabila digitalisasi digunakan untuk mendekatkan media ke masyarakat sebenarnya tidak demikian. Digitalisasi hanya sebagai kedok untuk meraup profit yang besar. Apabila medium yang digunakan lebih mudah untuk mencapai audiens, maka hal itu akan digunakan media, terutama media mainstream, untuk menambah pundi-pundi keuntungan.

Biaya produksi dan distribusi dari konten berbasis digital lebih murah. Dalam satu medium, media massa dapat memuat berbagai macam konten dalam berbagai bentuk. Apbail dibandingkan dengan surat kabar yang hanya dapat memuat gambar dan tulisan, maka dari itu segi biaya konten digital lebih murah.

Ditambah lagi, konten-konten berbentuk digital dapat dinikmati kapanpun dan di manapun. Cakupan persebaran konten media lebih luas, bahkan hingga lingkup dunia. Berbeda dari medium konvensional yang hanya bisa dinikmati saat itu dan terbatas oleh wilayah. Hal ini tentu menguntungkan media dari sisi finansial.

Terlebih di Indonesia, media memberi upah pekerja cukup kecil tetapi pekerja tersebut memiliki kemampuan yang mumpuni. Hal ini didukung pernyataan Mosco (t.t., hal. 16) bahwa pekerja di Negara Dunia Ketiga (Indonesia termasuk di dalamnya) diberi upah yang tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki. Upah yang diberikan relatif lebih kecil daripada kemampuan yang dimiliki.      

Konvergensi media sebenarnya mendorong persaingan media yang lebih luas. Media non-mainstream sebenarnya ikut dalam persaingan tersebut. Akan tetapi, pembeda antara media mainstream dan media non-mainstream terletak pada kualitas pekerja dan tentu teknologi.

Dari sisi kualitas pekerja, media non-mainstream kalah jumlah dan kualitas. Meskipun, dalam hal kualitas masih bisa diperdebatkan kembali. Akan tetapi, media non-mainstream kalah dari segi teknologi (peralatan) yang dimiliki. Sebab utama ialah media non-mainstream kalah dalam hal modal.

Hal ini tentu akan berdampak buruk pada jurnalisme masa depan. Media mainstream akan dengan mudah mengambil alih pangsa pasar, meski tidak mudah. Di sisi lain, kualitas teknologi akan menentukan kualitas output itu sendiri. Sebagai contoh video dengan kualitas terbaik akan dihasilkan dari kamera terbaik pula. Dalam konteks ini, digitalisasi akan lebih menyempitkan persaingan (meski terkesan luas) persaingan dalam hal distribusi konten media.

Munculnya media-media baru juga berdasarkan peluang adanya perolehan profit di sana. Meskipun hal itu belum terlalu nampak saat ini. Sajian konten dalam berbagai bentuk akan lebih menarik minat audiens. Apabila hal ini berhasil, media-media baru tersebut akan menjadi media besar berbasis profit. Tentu, hal ini akan memunculkan kaum-kaum borjuis baru. Di mana mereka memanfaatkan digitalisasi untuk mencari keuntungan semata.

Kesimpulan

Media baru berbasis digital tidak hanya menghadirkan konten media dalam berbagai bentuk dalam satu medium. Akan tetapi, hal ini bisa dimanfaatkan oleh media untuk mengeksploitasi keuntungan. Digitalisasi justru menyempitkan persaingan media, karena media-media sekarang fokus untuk mengembangkan media mereka melalui platform ini.

Meskipun persaingan media saat ini lebih terbuka, tetap saja media besar yang akan mengambil keuntungan yang paling besar. Hal itu dilandaskan pada nama yang sudah besar (terkenal). Artinya, kredibilitas media tersebut tidak perlu dipertanyakan kembali.

Media-media besar pun unggul dari sisi jumlah dan kualitas pekerja. Selain itu, media-media besar juga unggul dalam hal sumber daya (dana) dan penguasaan (kepemilikan) teknologi yang lebih canggih. Digitalisasi bisa jadi bukan bentuk resistensi terhadap media konvensional, justru akan melanggengkan kekuasaan media-media besar itu. Hal ini juga menandakan, bahwa media-media mainstream masih "berkuasa" sebagai produsen berita utama. Lebih jauh lagi, digitalisasi juga dapat menumbuhkan bibit-bibit borjuis baru.

Dengan demikian, media-media baru (non-mainstream) perlu mencari cara agar terlepas dari belenggu media besar. Terlebih, kehadiran media baru juga menambah warna di dunia jurnalisme sekarang.

Daftar Pustaka

Hartley, J. (2010). Communication, cultural, & media studies. Yogyakarta: JALASUTRA

Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. (2009). New media: a critical introduction (ed.2). New York, NY: Routledge. Diambil dari https://ayomenulisfisip.files.wordpress.com/2011/02/lister_a_spol_new_media_a_critical_introducion.pdf.

Mosco, V. (t.t.). the political economy of Communications (2nd ed.). Diambil dari http://kuliah.uajy.ac.id/pluginfile.php/256534/mod_resource/content/0/Memahami%20Teori%20Strukturasi%20Giddens.pdf

Muktiyo, W. (2015). Komodifikasi budaya dalam konstruksi realitas media massa. MIMBAR, 31, 113-122.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun