Pada perayaan HUT RI ke-80, rakyat disuguhi tontonan yang ironis. Para pejabat berjoget riang di atas panggung, disorot kamera, diiringi musik gegap gempita. Senyum mereka lebar, langkah kaki ringan, seolah negeri ini sedang tanpa beban. Namun di luar arena perayaan, jutaan rakyat Indonesia masih bergulat dengan kemiskinan struktural, harga pangan yang melambung, angka pengangguran yang tinggi, dan akses kesehatan yang semakin sulit. Joget para pejabat menjadi kontras mencolok di tengah nestapa bangsa.
Fenomena "joget pejabat" ini bukan sekadar hiburan, melainkan simbol alienasi. Para penguasa terasing dari realitas rakyat. Mereka hidup dalam dunia pesta dan panggung, sementara rakyat hidup dalam dunia luka dan derita. Joget pejabat adalah bentuk simulakra ala Jean Baudrillard, sebuah realitas palsu yang dipertontonkan untuk menutupi realitas sesungguhnya. Di layar, yang terlihat adalah kebahagiaan semu, padahal di balik layar yang nyata adalah air mata rakyat.
Sejarah telah mencatat pola penguasa seperti ini. Nabi Amos mengecam para raja Israel yang berpesta dengan anggur dan musik tetapi tidak peduli pada kehancuran bangsanya. Allah murka karena mereka melanggar prinsip shalom, yaitu damai sejahtera yang holistik---keadilan, kesejahteraan, dan solidaritas. Kaisar Nero menjadi lambang penguasa yang tuli terhadap penderitaan rakyat, memainkan musik ketika Roma terbakar. Dalam sejarah Indonesia, feodalisme dan kolonialisme memperlihatkan pola serupa: elit berpesta pora, rakyat jelata diperas habis-habisan.
Kini, pola itu berulang. Joget pejabat dalam perayaan kemerdekaan adalah wajah baru dari hedonisme politik, orientasi pada kesenangan diri dan pencitraan ketimbang pelayanan publik. Mereka menari bukan bersama rakyat, melainkan di atas penderitaan rakyat. Mereka bernyanyi tentang pembangunan, tetapi itu hanya doxa---opini yang meninabobokan, bukan kebenaran sejati.
Rendahnya kualitas kepemimpinan tampak dari tiga hal. Pertama, hilangnya empati, yang seharusnya menjadi inti dari kenosis---kerelaan Kristus mengosongkan diri demi orang lain (Filipi 2:7). Kedua, kaburnya visi, karena politik telah merosot menjadi panggung estetika, bukan praksis etika. Ketiga, runtuhnya integritas, karena sulit bicara integritas ketika pejabat berjoget riang di tengah rakyat yang lapar dan putus asa.
Â
Opium Politik dan Kesadaran Rakyat
Joget pejabat adalah propaganda visual, semacam opium politik. Karl Marx pernah menulis bahwa agama bisa menjadi opium yang meninabobokan rakyat. Namun kini, hiburan politiklah yang menjadi candu baru. Joget para pejabat adalah opium yang menciptakan ilusi kebahagiaan, padahal rakyat hidup dalam luka.
Dalam bingkai iman, fenomena ini adalah tamparan keras. Yesus sendiri menceritakan kisah orang kaya yang hidup mewah setiap hari, sementara Lazarus miskin penuh luka menunggu sisa makanan. Pada akhirnya, orang kaya itu menuai kutuk. Demikian juga, pejabat yang menari di atas penderitaan rakyat sedang menulis kutukan sejarah untuk dirinya sendiri.
Teolog asal Peru, Gustavo Gutirrez, bapak Teologi Pembebasan, pernah menulis: "Teologi lahir dari jeritan penderitaan rakyat miskin dan dari komitmen untuk mengubah realitas itu." Artinya, iman sejati tidak bisa berdiam diri ketika rakyat ditindas. Dorothee Slle, teolog Jerman, menambahkan dengan tajam: "Ketidakadilan yang dibiarkan adalah bentuk ateisme praktis, karena menyangkal kehadiran Allah di tengah yang menderita." Pernyataan ini menjadi kritik keras kepada para penguasa yang memilih berpesta ketimbang membela kaum kecil.