Pengumuman Gedung Putih pada awal April 2025 bahwa seluruh produk Indonesia akan dikenai tarif masuk hingga 32 persen mulai 1 Agustus menampar optimisme pasar nasional.
Kebijakan reciprocal tariff Presiden Donald Trump itu menempatkan Indonesia di antara 60-an negara yang harus menanggung beban pajak impor tertinggi sejak era Smoot-Hawley. Kebijakan itu diperkirakan bakal memangkas ekspor sebesar Rp 105 triliun dan mengancam 1,2 juta lapangan kerja di sektor padat karya.
Ironisnya, krisis perdagangan ini justri muncul hanya dua hari setelah Indonesia disambut resmi sebagai anggota ke-11 BRICS pada KTT Rio de Janeiro yang secara gencar mengusung “kemandirian Selatan” namun kini terjerat rivalitas geopolitik dengan Washington.
Dua karang
Konflik dagang dan diplomasi blok itu ibarat dua karang berlapis yang harus dilalui perahu kebijakan luar negeri Jakarta. Di satu sisi, tarif Trump mengingatkan betapa rentannya pasar ekspor Indonesia terhadap proteksionisme Amerika.
Di sisi lain, pintu BRICS menjanjikan pembiayaan lunak New Development Bank senilai lima miliar dolar AS bagi proyek baterai nikel Sulawesi dan jaringan transmisi Kalimantan.
Konflik dan kesempatan datang bersamaan. Pilihan strategi Indonesia bukan “pindah poros”, melainkan mempertebal doktrin bebas-aktif dengan diplomasi multi-meja.
Langkah pertama tampak pragmatis. Pemerintah menegosiasikan paket dagang senilai 52,3 miliar dolar AS dengan Washington sebelum tarif berlaku penuh, termasuk pembelian 75 pesawat Boeing dan gandum Midwest.
Kesepakatan ini mengulangi pendekatan “hadiah dagang” era Soeharto. Ketika itu, Indonesia meredam tekanan AS dengan kontrak bernilai tinggi sambil mengamankan akses pasar barang padat karya.
Kritik bahwa Indonesia “bertekuk lutut” diabaikan karena real-politik domestik menuntut perlindungan jutaan pekerja garmen dalam jangka cepat.