Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengungkap Diplomasi Sosial Komunitas Arab di Semarang

26 April 2025   12:48 Diperbarui: 26 April 2025   12:48 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn2.gnfi.net/gnfi/uploads/articles/1696991880-masjid-layur-disbudpar-1-641f5a24c50bbe75db21436e7669e589.jpg

Salah satu bentuk nyata dari perjanjian informal antara komunitas Arab dan pemerintah kolonial adalah pengakuan terhadap pemimpin komunitas, seperti habib dan sayyid, sebagai figur penting dalam menjaga ketertiban sosial. 

Mereka diberikan peran administratif dalam urusan internal komunitas, mirip dengan posisi Kapitan Tionghoa. Dalam banyak kasus, mereka menjadi perantara komunikasi antara Belanda dan rakyat Muslim, terutama dalam isu zakat, wakaf, hingga konflik internal. 

Ini dapat dikatakan sebagai satu bentuk diplomasi bawah radar, di mana komunitas minoritas memainkan peran juru damai dan penghubung kuasa.

Namun, posisi ini bukannya tanpa risiko. Ketika perlawanan terhadap kolonialisme meningkat pada awal abad ke-20, komunitas Arab---khususnya golongan wulyt (kelahiran Arab)---dituduh sebagai elemen asing yang tidak sepenuhnya loyal pada Indonesia. 

Di sisi lain, golongan muwallad (kelahiran lokal) mulai terlibat aktif dalam gerakan nasionalisme Islam. Perpecahan internal ini menciptakan dilema diplomatik: apakah mereka bagian dari bangsa Indonesia, atau tetap sebagai diaspora global yang otonom?

Meski demikian, kontribusi komunitas Arab dalam diplomasi sosial tak bisa diabaikan. Beberapa catatan sejarah menunjukkan mereka ikut mendirikan sekolah Islam, menjadi penggerak pergerakan keagamaan (seperti Al-Irshad dan Jamiat Khair), serta terlibat dalam pendirian media massa Muslim. 

Mereka menunjukkan bahwa diplomasi tidak selalu terjadi di istana atau ruang perundingan resmi, tapi juga di madrasah, masjid, dan pasar.

Warisan komunitas Arab di Semarang masih terasa hari ini, baik secara fisik (melalui bangunan tua dan jaringan pendidikan Islam) maupun secara simbolik. Kampung Melayu bukan hanya situs sejarah, tapi juga cermin bagaimana kekuatan sosial bisa dibangun lewat diplomasi budaya dan negosiasi identitas yang rumit. 

Di era di mana identitas diasporik kerap dipertanyakan, kisah komunitas Arab di Semarang mengajarkan kita bahwa menjadi bagian dari dunia tidak berarti tercerabut dari tempat tinggal, tapi justru memperkuat ikatan lokal melalui jejaring global.

Sumber:

1. https://www.batarfie.com/2017/09/kampung-pekojan-di-nusantara.html?m=1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun