Amerika Serikat (AS) tiba-tiba mengambil langkah tidak terduga, yaitu memihak Rusia dalam voting resolusi PBB terkait invasinya ke Ukraina. Keputusan ini bukan hanya menandai perubahan dramatis dalam lanskap geopolitik global, tetapi juga mencerminkan transformasi fundamental kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump.Â
Perubahan itu tentunya memiliki implikasi luas dan mendalam bagi tatanan dunia. Sikap AS secara jelas mengguncang fondasi aliansi Transatlantik yang telah dibangun dan dipelihara selama lebih dari tujuh dekade pasca Perang Dunia II.Â
Kebijakan AS bergabung dengan Rusia, Korea Utara, dan Belarus menentang resolusi yang diusulkan Eropa telah menciptakan keretakan serius dalam hubungan AS-Eropa. Keputusan Inggris dan Prancis untuk abstain dalam resolusi lain yang diajukan AS di Dewan Keamanan PBB juga semakin menegaskan kedalaman perpecahan ini.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan fundamental tentang masa depan NATO dan keamanan kolektif Eropa. Negara-negara Eropa kini dihadapkan pada realitas bahwa mereka mungkin perlu mengembangkan kapabilitas pertahanan yang lebih mandiri.Â
Gagasan pertahanan mandiri itu telah lama diadvokasi oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Pergeseran ini potensial mendorong reformasi struktural dalam arsitektur keamanan Eropa.
Implikasi posisi AS dalam voting PBB ini adalah memberikan legitimasi tak langsung terhadap agresi Rusia di Ukraina. Dengan menolak mengutuk invasi Rusia dan mendukung resolusi yang tidak memuat kritik terhadap Moskow, Washington secara tidak langsung melemahkan posisi Ukraina dalam konflik ini.Â
Kebijakan ini berpotensi mengubah secara fundamental dinamika perang dan prospek negosiasi damai ke depan. Lebih jauh, sikap AS ini bisa dipandang sebagai sinyal kepada aktor-aktor revisionis lain di dunia bahwa agresi militer dan pelanggaran kedaulatan teritorial mungkin tidak akan mendapat konsekuensi serius dari komunitas internasional.Â
Ada pandangan kritis bahwa situsi ini menciptakan preseden berbahaya yang bisa mendorong konflik-konflik serupa di masa depan. Sebagai kekuatan dominan, AS dianggap mulai menjauh dari prinsip-prinsip yang selama ini diperjuangkannya - seperti kedaulatan teritorial dan penolakan terhadap agresi militer.Â
Akibatnya, kemungkinan rekonfigurasi aliansi global dan pemikiran ulang tentang tatanan internasional menjadi terbuka. Situasi ini juga menciptakan ruang bagi kekuatan-kekuatan baru untuk mengisi kekosongan kepemimpinan global.Â
China, misalnya, mungkin bakal semakin percaya diri dalam memproyeksikan pengaruhnya di Asia. Bahkan, India, Brasil, dan kekuatan regional lainnya juga mungkin akan mencari peran yang lebih besar dalam urusan internasional.