Mohon tunggu...
Lucky Nurdiansyah
Lucky Nurdiansyah Mohon Tunggu... Dokter - Seorang Hamba Allah yang merindukan surga-Nya

Seorang pemuda yang fakir ilmu dan amal. Berharap dengan secercah goresan pena bisa menjadi pemberat amal kebaikannya. Belajar dari berbagai pengalaman dan buku serta olahraga adalah kesenangannya. Penulis bisa dihubungi di email : luckynurdiansyah.lucky@gmail.com. Facebook : Lucky Nurdiansyah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Mr President"

18 Februari 2018   09:33 Diperbarui: 18 Februari 2018   09:43 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu kampung halaman saya dikunjungi oleh RI 1, yakni Ir. Joko Widodo. Tentu sebuah harapan besar bagi seluruh masyarakat disana supaya banyak perbaikan di segala kondisi mulai dari infrstruktur sampai dengan ekonomi rakyat. Para pejabat tingkat desa sampai bupati pun sibuk menyiapkan persembahan untuk tamu istimewa ini.

            Namun yang mengganjal bagi saya justru banyak teman-teman yang justru mencaci, mengejek serta membuat meme jelek kepada pemimpin negeri ini. Hati saya seolah-olah tergores dengan itu semua. Mengkritik dan berpendapat tentang pemimpin dibolehkan oleh undang-undang, namun tentu dengan cara yang baik. Saya pernah membaca bahwa cara terbaik untuk menasehati pemimpin adalah dengan menggenggam erat tangannya dan saat itulah nasehat lebih dicerna oleh akal sehat.

            Rasulullah pun semasa hidupnya tidak pernah berkata-kata kasar lagi menyakitkan keapda lawan maupun kawan. Bahkan lemparan batu dan kotoran dari penduduk Tha'if justru dibalas dengan doa kebaikan untuk yang melempar. Padahal saat itu malaikat penjaga gunung sudah siap melakukan APAPUN perintah Rasul. Mungkin seandainya kita, terlebih saya yang ditawari, dengan penuh kehinaan  mungkin saja kita akan berkata, "Ngapa nggak dari tadi?"

            Wahai pemimpinku, let me call you as Mr. President. Bayangkan jika kita mempunyai kesalahan dan ada dua sikap saat itu. Sikap pertama adalah orang mengumumkan kesalahan kita didepan umum, menempel dalam bentuk pamflet ke berbagai dinding dan mencaci maki dengan keras. Sikap kedua adalah orang itu datang ke rumah kita dengan penuh senyuman, mengucapkan salam dan menyebutkan kesalahan itu dengan bahasa yang indah.

            Mana yang Anda pilih? Sikap pertama atau kedua? Kalau saya adalah sikap kedua. Kenapa demikian?

            Sebuah kisah dari salafus shalih, yakni Imam Ahmad ibn Hambal tatkala melihat muridnya sedang mengajar. Orang yang diajari kepanasan sedangkan murid imam Ahmad berteduh ketika mengajar. Hal tersebut dilihat oleh Imam Ahmad, apa yang dilakukan oleh beliau? Imam Ahmad datang ke rumah murid secara pelan-pelan dan sembunyi-sembunyi lalu mengatakan bahwa tidak layak sikap seorang guru terhadap muridnya yang membiarkan muridnya kepanasan sedangkan ia dalam kondisi teduh. Imam Ahmad tidak mengumumkan di depan umum, justru menasehati secara sembunyi-sembunyi.

            Apakah Mr. President kita tidak punya kesalahan? Jawabannya ada. Lantas, apakah pemimpin sebelumnya tidak ada kesalahan? Tentu saja juga ada. Dan kesalahan terbesar adalah hanya bisa menyalahkan tanpa bisa berbuat. Kritis boleh, namun juga harus solutif. Menghidupkan pelita saat gelap tentu lebih baik daripada mengutuk kegelapan itu sendiri.

Dalam segala hal yang terjadi baik kesuksesan maupun kegagalan tentu pemimpin yang akan pertama disorot. Sebagai contoh kasus gizi buruk di Asmat. Yang disalahkan adalah Mr. President karena tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat dan pelayanan kesehatan secara merata. Kenapa tidak pemerintah Papua atau Kemenkes yang disalahkan? Karena itulah risiko pemimpin.

Contoh lagi adalah kesuksesan swasembada beras saat Presiden Soeharto. Kenapa yang disebut-sebut berhasil adalah Sang Presiden? Kenapa tidak Menteri Pertanian atau Petani itu sendiri? Lagi-lagi karena itulah risiko pemimpin.

Memang terkadang ada yang dirugikan dari suatu keputusan, disitulah kebebasan pendapat berlaku untuk mengungkapkan aspirasi atas keberatan terhadap suatu keputusan. Namun ketaatan terhadap pemimpin dalam hal kebaikan dan kebenaran tentunya sangat diperlukan dalam suatu negara. Inilah yang harus kita tanamkan supaya membentuk kekuatan yang solid. Bayangkan saja suatu pasukan yang tidak taat kepada komandannya, yang terjadi tentu saja kekacauan.

            Sebuah pengalaman saya menjadi pemimpin dalam suatu organisasi memang yang kurang dan perlu dipupuk adalah ketaatan terhadap pemimpin. Sebuah keputusan hasil syuro apabila telah diketok tentu harus ditaati tanpa ada suara-suara dibelakang. Namun suara-suara yang tidak mengenakkan itu masih saja ada. Ketika keputusan forum yang diputuskan adalah A dan harus dilakukan saat hari H, masih ada saja anggota yang tidak melakukan keputusan itu. Itulah ujian dari pemimpin itu sendiri tentunya. Kalau dalam tatanan organisasi orang terpelajar saja seperti itu, bagaimana dengan tatanan suatu negara yang tidak semua orang berpendidikan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun