Siapa sangka, game yang jadi pelarian anak-anak setelah pulang sekolah justru bisa menjadi pintu masuk predator digital? Game online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Dari sekadar hiburan, game kini menjelma menjadi ruang interaksi sosial, ekonomi, bahkan pendidikan. Salah satu platform yang paling populer di dunia adalah Roblox, sebuah game berbasis komunitas yang memungkinkan penggunanya untuk tidak hanya bermain, tetapi juga menciptakan konten dan dunia virtual sendiri. Popularitas Roblox di Indonesia sangat tinggi, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, sehingga platform ini menjadi fenomena budaya digital tersendiri.
Namun, di balik keceriaan itu, tersimpan masalah serius yang belakangan ini mendapat perhatian besar dari pemerintah Indonesia. Pada tahun 2025, Kominfo dan lembaga terkait mendesak Roblox untuk merevisi sistem rating usia dan menyesuaikan diri dengan regulasi lokal. Desakan ini bukan tanpa alasan. Berbagai laporan mengenai kasus pelecehan, konten berbahaya, hingga percakapan yang tidak pantas di dalam platform tersebut menimbulkan kekhawatiran yang besar. Bahkan, beberapa sekolah di Surabaya dikabarkan sempat melarang murid mereka bermain Roblox karena dianggap rawan menjadi pintu masuk predator online.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana tanggung jawab penyedia platform digital terhadap keamanan penggunanya, khususnya anak-anak? Bagaimana hukum di Indonesia memandang persoalan ini, dan apa langkah konkret yang bisa diambil untuk melindungi generasi muda di ruang digital?
Roblox menawarkan kebebasan yang sangat luas bagi penggunanya. Setiap pemain dapat membuat game sendiri, membangun dunia virtual, serta berinteraksi melalui fitur chat. Kebebasan inilah yang membuat Roblox berbeda dari game konvensional. Namun, kebebasan juga melahirkan risiko. Tidak semua konten yang dibuat pengguna bersifat ramah anak. Beberapa laporan internasional maupun nasional mengungkap adanya konten seksual terselubung, ajakan untuk mengunjungi situs eksternal berbahaya, hingga praktik grooming yang ditujukan kepada anak-anak.
Kasus-kasus ini tidak bisa dipandang remeh. Anak-anak yang bermain Roblox umumnya masih berada pada tahap perkembangan psikologis yang rentan. Mereka mudah percaya, belum memiliki kesadaran penuh mengenai bahaya dunia maya, dan sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi target kejahatan siber. Hal ini diperparah dengan maraknya penyamaran pelaku, yang bisa bersembunyi di balik avatar imut atau ramah.
Kondisi inilah yang mendorong pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas. Desakan agar Roblox merevisi rating usia bukan hanya sekadar teknis administratif, tetapi sebuah bentuk perlindungan hukum bagi anak-anak. Dengan rating yang sesuai regulasi lokal, diharapkan orang tua bisa lebih mudah mengawasi, sementara pihak platform juga dituntut untuk memperketat filter konten.
Analisis Hukum: Perlindungan Anak dan Tanggung Jawab Platform
Dalam perspektif hukum Indonesia, persoalan Roblox dapat dianalisis melalui beberapa regulasi utama.
1. Â Â Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 23 Tahun 2002). Pasal-pasal dalam UU ini menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari pengaruh buruk media massa maupun lingkungan digital. Jika platform digital seperti Roblox menyediakan ruang yang memungkinkan terjadinya pelecehan atau paparan konten berbahaya, maka secara tidak langsung hak anak telah dilanggar.
2. Â Â Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 1 Tahun 2024). UU ITE mengatur penyelenggara sistem elektronik (PSE), termasuk kewajiban mereka untuk menjaga keamanan, melindungi data pribadi, dan mencegah konten negatif. Roblox sebagai PSE global yang beroperasi di Indonesia wajib tunduk pada aturan ini. Jika tidak, Kominfo memiliki wewenang untuk membatasi atau bahkan memutus akses.
3. Â Â Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Meskipun lebih dikenal dalam konteks barang dan jasa, perlindungan konsumen juga relevan dalam transaksi digital. Anak-anak sebagai konsumen game memiliki hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. Dengan adanya risiko penipuan, pembelian item dalam game, atau paparan konten ilegal, kewajiban platform semakin besar untuk memberikan jaminan perlindungan.