Fenomena Abolisi Tom Lembong Mengancam Konsistensi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Pendahuluan
   Kasus Tom Lembong menjadi sorotan karena dianggap berpotensi melemahkan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemberian abolisi dapat membuka ruang terjadinya ketidakadilan hukum, serta melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini diperjuangkan. Padahal, masyarakat berharap bahwa penegakan hukum, terutama kasus pidana korupsi, dapat dilakukan dengan transparan, jujur, dan adil. Sayangnya, keputusan pengadilan terhadap kasus Tom Lembong ini membuktikan bahwa ketidakadilan hukum, khususnya pidana korupsi, masih terjadi di Indonesia. Hal ini menarik untuk dianalisis karena jika kasus seperti terjadi lagi, maka bukan tidak mungkin, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin berkurang. Bagaimana kasus abolisi Tom Lembong dapat mengancam konsistensi penegakan hukum di Indonesia?
Korupsi dan Abolisi
    Korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang melibatkan penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, korupsi mencakup berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Dalam konteks kriminologi, korupsi tidak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga mengikis moralitas birokrasi dan merusak legitimasi pemerintah (Jurnal Kajian Hukum, 2023).
    Sementara itu, abolisi adalah hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan dijelaskan dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Abolisi berarti penghapusan atau peniadaan tuntutan pidana sebelum adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap. Namun, dalam Fakultas Pertiba (2024), "pemberian abolisi terhadap pelaku tindak pidana korupsi justru menimbulkan kekhawatiran publik karena dapat dipersepsikan melemahkan komitmen pemberantasan korupsi." Dalam JIC Nusantara (2024) menegaskan bahwa abolisi dalam kasus korupsi berpotensi menciptakan ketimpangan keadilan dan mengurangi efek jera bagi pelaku. Menurut pendapat Mustain Nasoha (UIN SAID, 2024), pemberian abolisi seharusnya bersifat bersyarat, misalnya dengan kewajiban pengembalian aset negara. Dengan demikian, pemberian abolisi tanpa syarat terhadap kasus korupsi dapat dipandang sebagai bentuk penyimpangan hukum yang mengancam kredibilitas sistem peradilan di Indonesia.
Penegakan Hukum di indonesia
   Penegakan hukum merupakan proses menerapkan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam kehidupan sosial, sekaligus memastikan bahwa hukum berfungsi nyata, bukan sekadar teks normatif. Anang Dony Irawan dan Umar Sholahudin (2023) dalam Analisis Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia menjelaskan bahwa penegakan hukum idealnya menjadi upaya konkret mewujudkan keadilan sosial melalui penerapan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Namun, dalam praktiknya, masih banyak kendala yang dihadapi.
    Menurut Zico Junius Fernando (2022) dalam Penegakan Hukum dan Problematika Sistem Peradilan Pidana Indonesia, lemahnya integritas aparat, tumpang tindih regulasi, serta intervensi politik menyebabkan hukum kehilangan daya wibawanya. Hal ini diperkuat oleh Hasaziduhu Moho (2021) yang menilai bahwa sistem hukum di Indonesia masih menitikberatkan pada kepastian hukum formal daripada keadilan substantif. Kebijakan abolisi yang diberikan dalam kasus Tom Lembong menjadi contoh nyata dari lemahnya konsistensi tersebut. Meskipun secara hukum formal Presiden memiliki wewenang, namun dari sisi keadilan substantif, kebijakan itu menimbulkan persepsi ketidaksetaraan hukum di hadapan masyarakat. Padahal, dalam kasus tindak pidana korupsi, keadilan seharusnya dijaga secara mutlak agar hukum memiliki efek jera dan meningkatkan kepercayaan publik.
Dampak terhadap Konsistensi Penegakan Hukum
   Kebijakan abolisi terhadap kasus korupsi memiliki dampak serius terhadap konsistensi dan kredibilitas penegakan hukum di Indonesia. Pertama, kebijakan ini dapat melemahkan efek jera karena pelaku korupsi merasa memiliki peluang untuk bebas melalui jalur politik. Kedua, kebijakan tersebut menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga hukum, terutama jika dianggap berpihak kepada elite tertentu. Ketiga, muncul potensi penurunan moral aparat penegak hukum, karena keputusan politik dapat meniadakan hasil penyelidikan atau penyidikan yang telah dilakukan secara profesional.