Mohon tunggu...
Lubisanileda
Lubisanileda Mohon Tunggu... Editor - I'm on my way

A sky full of stars

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dulu 'Tubang', Kini 'Sugar Daddy'

14 Desember 2021   01:41 Diperbarui: 14 Desember 2021   02:07 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi/Dokumentasi Pribadi

Ingat Hanny R Saputra? Sutradara kawakan ini pernah menggarap kisah remaja yang bermain Tubang (Sebutan bagi pria yang usianya mulai 35-60 tahun), kini sosok Tubang tren disebut 'Sugar Daddy'.  Lewat cerita drama kolosal 'Virgin', Hanny R Saputra dituai protes sana-sini.

Tahun 2007, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan menggarapnya dalam sebuah penelitian dan investigasi. Dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam, 39 di antaranya berstatus pelajar, 14 di antaranya berstatus siswi SMP, dan 27 berstatus pelajar SMA/ SMK.

Laiknya investigasi, persis komitmen di awal dengan KPKA, maka penulis juga harus berpura-pura menjadi seperti mereka. Skenarionya adalah begini, bersama PKPA kami akan janjian di sebuah tempat, kemudian di sana saling bercerita tentang segala hal yang berkaitan dengan sang 'sugar daddy'. Semua cerita yang terumbar nantinya diperuntukkan untuk data PKPA. Sebagai informasi remaja-remaja ini telah dirangkul PKPA, dalam upaya perlindungan terhadap anak.

Inilah kisah mereka....

Nayla (bukan nama sebenarnya) tak percaya, bola matanya yang bulat terus membelalak ketika ia menghitung jumlah lembaran uang dari balik amplop putih dari dalam tasnya. Semuanya Rp5 juta. Ah, tak mungkin. Ini pasti khayalan, ia terus membatin dari dalam lubuk hatinya. Ia terus mencubiti kulit tangannya yang ditumbuhi penuh dengan bulu-bulu halus.

"Aku kaya," katanya sembari menjatuhkan tubuh sintalnya itu ke atas tempat tidur yang beralaskan seprai bermotif bunga-bunga.

Nayla tersenyum. Jari jemarinya terus mengapit jutaan rupiah itu di atas dadanya. Pikirannya menerawang pada sebuah ponsel berkamera, sebuah lemari pakaian, bahkan kahayalannya itu mampu menembus kamar yang berukuran 2 x 2 meter saat ia berimajinasi memakai baju dan sepatu model terbaru, lengkap dengan aksesoris sembari makan makanan cepat saji yang menawarkan daging yang renyah.

"Sekarang, aku tak perlu bermimpi lagi. Aku bisa miliki itu semuanya," ucapnya.

Inilah cerita klasik masa kini, ketika keperawanan bukan lagi menjadi bagian penting yang perlu dipertahankan. Seperti Nayla yang melepas keperawanannya pada seorang pria non pribumi pada satu sore di bulan April 2007.

"Awalnya dikenali sama teman. Lalu dibawa ke Hotel untuk bertemu dengan Tubang iu," ungkap Nayla yang masih berstatus sebagai pelajar SMP Negeri kelas II Medan ini, Kamis (13/12/2007) di salah satu cafe yang berlokasi di kecamatan Medan Johor.

Nayla tak sendirian, ia bersama Kalin (bukan nama sebenarnya), yang juga ingin membagi kisahnya. Nayla, sulung dari dua bersaudara ini mengungkapkan, tak merasa canggung bertemu dengan pria yang usianya persis seperti ayahnya itu, yakni sekitar 39 tahun.

"Aku ingat ayahku saat itu," ujarnya sembari memainkan sedotan di dalam gelas minuman juice kweni yang dipesannya.

Nayla mengaku diam saja, tatkala Tubang yang ia panggil dengan sebutan Koko ini membuka kancing bajunya, satu persatu. 

Lalu?

"Koko itu menyuruh aku tidur dan ya terus begituin aku," katanya.

Bibir tipisnya pun basah ketika ia menyeruput minuman juice dingin tersebut. 

"Rasanya tak enak. Sakit," ucapnya polos.

Tak sampai tujuh menit, episode kamar 207 di sebuah hotel yang berlokasi di jalan Imam Bonjol Medan itu pun usai. Ia pun bergegas ke kamar mandi, kembali mengenakan bajunya dan berdiri mematung di depan Koko yang sedang duduk di bibir tempat tidur, sembari menghitung uang di dalam amplop dan menyerahkannya kepada Nayla.

Remaja 14 tahun ini pun bergegas pergi sambil mengucapkan terima kasih dan meninggalkan Koko yang hanya dalam keadaan berhanduk saja. Ia pun meninggalkan hotel itu, kemudian menyetop kendaraan angkutan kota (angkot) menuju rumahnya di jalan Brigjend Katamso, Medan.

Kini, Nayla tak canggung lagi. Ia bilang sudah ada 20 Tubang yang pernah dikencaninya. Dua diantaranya adalah Tubang tetap miliknya.

"Sekarang aku sudah punya handphone, jadi kalau mau cari Tubang tak perlu pakai perantara kawan lagi. Aku hubungi sendiri saja atau aku cari sendiri saja," bilangnya.

"Kalau jam pulang sekolah, banyak Tubang yang lewat di depan sekolah aku. Perhatikan saja, yang jalannya lamban, terus buka kaca jendela mobil. Kalau dia senyum sama kita, itu berarti Tubang," bebernya.

Bahkan, menurut Nayla, food court di pusat-pusat perbelanjaan, Mall maupun Plaza kerap dijadikan tempat kongkow (tongkrongan) para Tubang.

Kenapa suka main Tubang?

"Dapat uang," jawabnya pendek.

Lagi-lagi ekonomi menjadi kambing hitam fakta klasik ini. Putri pasangan dari Aga yang bekerja di salah satu pabrik sepatu di daerah Tanjung Morawa, dan Lia yang hanya ibu rumah tangga ini mengaku kedua orang tuanya hanya mampu memberikan Rp3 ribu saja untuk uang jajannya. Itu pun tidak setiap hari.

"Saya pengin punya handphone, kayak teman-teman lain, pengen punya baju-baju seperti yang di majalah-majalah remaja itu, pengen punya sepatu tinggi kayak yang dipakai artis di televisi, saya pengin jadi cantik, dengan Rp3 ribu, mana mungkin semuanya tercapai," ujarnya.

Demi memenuhi semua kebutuhan itu, remaja yang rambutnya panjang ini pun merelakan tubuhnya untuk ditiduri banyak Tubang.

"Tapi, saya selalu pakai pengaman kok," ungkapnya.

Kalin: Om Pitt Bukan Cuma Tubang tapi Pacar Sekaligus Ayah

Lain Nayla, lain pula Kalin. Siswi SMA kelas I ini mengaku sudah dua tahun bermain Tubang, sejak ia kelas III SMP.

"Waktu itu saya baru 15 tahun dan terima kasih saya sudah tidak perawan saat itu," ucapnya sambil tersenyum.

Cukup satu alasan, kenapa harus memilih bermain Tubang, uang dan uang, begitu bilang remaja 16 tahun ini. Kalin pun tak merasa menyesal, mengapa menyerahkan keperawanannya kepada seorang pria yang usianya tak jauh berbeda dengan guru Agama di sekolah swasta yang beralamat di jalan SM Raja itu.

Foto Ilustrasi/ Dokumen Pribadi
Foto Ilustrasi/ Dokumen Pribadi

"Aku bilang, aku beruntung karena keperawananku dihargai Rp6 juta. Daripada teman-temanku yang lain begituan sama pacarnya. Sudah rugi, enggak dapat uang, eh, ditinggal sama pacarnya. Kasihan ya," ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Peristiwa itu masih terekam dengan jelas di dalam benak Kalin.

"Mana mungkin, aku bisa melupakan kejadian itu," ucapnya.

Jari jemarinya memainkan rambut panjangnya yang berwarna pirang itu. Tak jauh berbeda dengan Nayla, Kalin melepas keperawanannya dengan seorang Tubang yang dipanggilnya dengan Om Pitt.

"Om Pitt sangat baik sama aku. Dia perhatian, enggak cuma pengin tubuhku saja. Bahkan dia pernah nganterin aku ke dokter, waktu aku lagi sakit. Terus, kalau aku enggak punya pulsa, dia pasti isiin pulsaku. Om Pitt juga mainnya enggak kasar, lembut. Dia suka pelan-pelan. Pokoknya dia sangat romantis," paparnya.

Bibir Kalin terus berceloteh tentang sang Tubang. Bahkan, Om Pitt yang baik hati itu mendapat predikat sebagai Tubang yang paling disayangi Kalin.

"Om Pitt enggak cuma seperti Tubang, tapi sekaligus jadi pacar dan Ayahku, dan enggak ada yang boleh merebutnya dari aku," kata remaja yang mengaku pertama kali kenal dengan Om Pitt karena dikenali sama temannya ini. 

Ya, Om Pitt adalah Tubang tetap Kalin.

Sejak melepas keperawanannya, Nayla dan Kalin pun memasang tarif sekitar Rp500-800 ribu. Tubang yang dipilih pun tak asal-asalan.

"Minimal naik mobil dan usianya minimal 35 tahun, maksimal 50 tahun lah," ucap Kalin.

"Pokoknya jangan sampai usianya 60 tahun," tambah Nayla.

Loh kenapa? Apakah ketuaan?

"Ya, iya lah," jawab keduanya serempak sambil terkekeh."

"Uang sih uang, tapi kalau ketuaan, cape deh," kata Kalin yang sore itu memakai stelan T-Shirt merah marun berlengan pendek yang dipadu dengan celana jeans biru ketat.

Nayla pun terbahak mendengar ucapan Kalin barusan, keduanya pun saling ber tos ria.

Tak ada satupun yang mengetahui tindak-tanduk keduanya. Mereka tutupi rapat-rapat mengenai fakta ini dari orangtua mereka, sahabat mereka, bahkan dari dunia.

"Jangankan orangtua, teman-teman sekolah juga tak ada yang tahu kok. Kecuali yang 'sama' juga seperti aku ya. Mereka cuma bisa menebak-nebak saja. Lagian, aku kan masih sekolah, jadi harus pintar-pintar bermain 'cantik' lah," ungkap Nayla.

Caranya?

"Supaya tidak ketahuan, makanya cari waktu-waktu yang aman kalau mau kencan sama Tubang. Kalau aku biasanya di jam-jam pulang sekolah. Mulai pukul 13.00 -- 18.00 Wib," beber Nayla.

Sebagai informasi, ada sekitar 15 orang teman-teman sekelas Nayla yang memiliki profesi persis seperti dia. Bisa dibayangkan, itu baru jumlah di dalam kelasnya saja. Kelas-kelas yang lain?

"Ada juga. Tapi aku tidak perduli lah. Selama mereka tidak mengambil Tubang tetap aku, ya cuek saja," ucap Kalin menimpali.

Rupanya, Nayla dan Kalin sependapat soal menjaga Tubang tetap mereka dan menjauhinya dari teman-teman yang berprofesi sama seperti mereka.

"Wah, kalau dikenali nanti payah. Bisa-bisa Tubang itu malah naksir sama teman aku. Terus Tubang itu jadi tidak mau lagi samaku. Jadi bagaimana nasib awak nanti," bilang Nayla.

Kalin pun mengangguk-angguk pertanda setuju dengan Nayla.

Boy: Saya Ketagihan untuk Mencicipi Kepolosan dan Keluguan Mereka

Panggil saja ia Boy. Pria ini tak mau dipanggil dengan sebutan Om.

"Om membuat Saya terkesan tua," katanya ketika ditemui di salah satu Food Court sebuah Mall yang berlokasi di jalan Thamrin, Medan.

Pria 40 tahun ini mengaku sudah lebih dari lima remaja yang dikencaninya. Proses untuk mendapatkan remaja-remaja yang masih duduk dibangku sekolah itu pun mudah saja baginya.

"Saya punya banyak relasi yang kenal dengan banyak remaja-remaja yang doyan bermain Tubang," ungkapnya.

Cara menandakannya pun gampang saja. Kata Boy, pandangi matanya, kemudian berikan senyuman sedikit sembari ajak dia lewat bahasa tubuh kita. Bila ia tersenyum juga, jadi tunggu apa lagi?" ujarnya.

Ayah dua orang anak ini pun tak pernah merasa rugi harus merogoh kocek hingga Rp800 ribu agar bisa berkencan dengan remaja-remaja tersebut. Bahkan kata Boy, tiga dari lima remaja yang dikencaninya adalah masih perawan.

"Rasanya memang berbeda. Bila dibandingkan dengan wanita dewasa, tentu saja permainan mereka biasa-biasa saja, namun keluguan dan kepolosan mereka itu yang membuat Saya menjadi ketagihan untuk terus 'mencicipi' mereka," ucap Boy yang mengaku sebagai pemilik Panglong kayu ini.

Sesekali waktu ia merasa bersalah dengan perilakunya yang satu ini.

"Keinginan untuk berhenti pernah ada. Namun, mereka juga yang kadang-kadang menggoda saya duluan. Mereka juga yang mau dibegituin," ujarnya sembari menghembuskan asap rokok dari bibirnya.

PKPA: Ini Tanggung Jawab Bersama

Ahmad Sofian termanggu membaca data yang didapat PKPA melalui penelitian dan investigasi lembaga swadaya masyarakat yang berkosentrasi di bidang perlindungan anak ini. Direktur Eksekutif PKPA masa itu hanya bisa menggeleng-geleng kepalanya, ketika menemukan fakta hasil dari jumlah anak korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) di Medan mencapai 2000 secara merata di seluruh kota Medan (Data tahun 2007).

"Satu hal yang menjadi catatan penting dalam persoalan ini adalah, bahwa bisnis seks ini dilakukan oleh remaja-remaja yang masih dikategorikan sebagai anak-anak. Saya sangat menyesalkan karena usia mereka belum dewasa, masih di bawah 17 tahun," kata Sofian.

Menurut Sofian, persoalan ekonomi-sosial menjadi pemicunya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan, ada juga siswi-siswi SMP/SMA yang melakukannya karena terikut-ikut teman, namun fakta ini tak boleh menjadi sekadar cerita dari mulut ke mulut, atau hanya sebatas menjadi kisah 'asoy' negeri ini.

"Saya bahkan tak mampu berkata apa-apa lagi, ketika beberapa diantaranya melepas keperawanannya langsung kepada Tubang tersebut, dan tambah miris ketika salah satu diantara mereka ada yang mengungkapkan, bahwa keperawanan lebih baik dihargai Rp5 juta daripada tidak sama sekali. Rugi yang didapat pun sama saja; rugi fisik ataupun psikis," katanya.

Solusinya?

"Jangan menutup mata, bahwa semua elemen di negeri ini harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini, termasuk hal-hal yang menjadi media selama terjadinya proses bisnis seks tersebut, seperti, hotel dan caf yang mengijinkan anak dibawah umur untuk check-in bersama pria dewasa. Hal-hal yang menjadi catatan kedepan adalah adanya peraturan yang tegas, khususnya kepada hotel-hotel. Dan sekedar saran bagi para Tubang, yakni, sebaiknya lakukanlah dengan orang dewasa, jangan dengan anak-anak," ujar Sofian tegas.

Hujan masih saja terus turun sore itu. Kalin dan Nayla termenung sejenak memandangi riakan air di kolam telaga yang airnya hijau itu.

Kalian menyesal?

"Penyesalan itu hanya milik orang-orang bodoh," kata Nayla sembari merapatkan kedua tangannya.

"Ya, dan nasi sudah menjadi bubur, bukan?" tambah Kalin.

Ia lemparkan pandangannya ke atas langit. Kedua remaja ini pun hanya bisa menjawab tidak tahu, ketika penulis bertanya sampai kapan mereka akan menjalani profesi tersebut.

"Tapi bagiku pendidikan adalah nomor satu, dan Saya ingin menjadi seorang Bidan," ungkap Nayla.

"Kalau aku ingin menjadi Insyinyur Pertanian," kata Kalin tak mau ketinggalan.

Keduanya pun tersenyum. 

"Buka mata, buka hati, lihat dan rasakan, ini persoalan bersama", pungkas Ahmad Sofian.

Nayla, Kalin, tetaplah semangat, semoga cita dan mimpi kalian tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun