Mohon tunggu...
Pandan Wangi Sukma
Pandan Wangi Sukma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya adalah orang yang bisa berbaur dengan banyak orang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efektivitas Program Subsidi Pupuk bagi Masyarakat Agraris Miskin

8 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 8 Desember 2022   09:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia mencapai 54.8 juta. Namun, 34.3 juta diantaranya tergolong miskin atau rentan." - Patunru dan Respatiadi (2017).

Pembahasan mengenai kemiskinan struktural merupakan sebuah pembahasan yang tak dapat ditinggalkan begitu saja di tengah upaya pemerintah melakukan serangkaian program pembangunan bagi masyarakat. Kemiskinan struktural sendiri ialah suatu kondisi ketidakterpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti subsistensi, afeksi, keamanan yang ditimbulkan akibat struktur sosial yang rumit dan berakhir membuat masyarakat menjadi termarjinalisasikan dan mengalami kesulitan mendapatkan akses dari hak yang seharusnya didapatkan (Purwandari, 2011).

Faktanya kemiskinan memang lebih mudah dilekatkan kepada orang desa daripada kota sebab sekitar 80% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian di bidang pertanian masuk ke dalam taraf masyarakat miskin (Sunoto, 2015). Menurut data BPS pada tahun 2020 sebanyak 49.41% rumah tangga miskin itu menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Padahal, Indonesia sendiri ialah negara dengan wilayah relatif luas dan lahan pertanian yang menjanjikan, bila dilihat dari konteks tersebut sudah seharusnya masyarakat yang hidup dengan cara bertani dapat hidup makmur (Yacoub dan Mutiaradina, 2020).

Apabila ditelisik dengan mengamati desa-desa dengan mata pencaharian utama di bidang pertanian seperti Desa Cilapar, Kecamatan Kaligondang, kemiskinan yang terjadi di daerah tersebut merupakan sebuah kemiskinan struktural yang terjadi akibat adanya ketidakmerataan faktor produksi seperti rendahnya modal, status kepemilikan tanah pertanian di mana lebih banyak masyarakat yang menjadi buruh tani daripada petani pemilik lahan, pendidikan, serta teknologi yang masih rendah (Prima dkk, 2012). 

Realitas dari kondisi buruh tani yang mengalami marginalisasi ini terperangkap pada situasi yang serba terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mengingat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari saja sulit, maka tentu saja para buruh tani juga akan mengalami kesulitan yang serupa untuk mendapatkan modal persiapan produksi pertanian mereka. 

Akibatnya banyaknya buruh tani yang terpaksa harus melakukan peminjaman uang demi mendapatkan pupuk yang akan mereka gunakan. Hal tersebut tentu akan memberikan dampak pada banyak hal, bagi buruh tani sendiri hal ini akan membawa kerugian bagi mereka sebab keuntungan yang didapatkan akan semakin sedikit karena upah yang didapatkan akan digunakan untuk membayar hutang terlebih dahulu, semakin lama buruh tani pun akan merasa bekerja di sektor pertanian tak akan lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga mereka memutuskan untuk berhenti. Hal ini tentu akan membawa dampak yang lebih besar seperti ketersediaan pangan yang semakin sedikit dan tak lagi sebanding dengan permintaannya yang kemudian menciptakan ketidakstabilan ekonomi.

Melihat permasalahan yang didapati pada masyarakat di sektor pertanian baik itu petani lahan kecil maupun buruh tani, pemerintah akhirnya menciptakan sebuah regulasi untuk memberikan perlindungan pada masyarakat berpendapatan rendah serta meningkatkan produksi pertanian mengingat pangan sendiri merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pemerintah memberikan sebuah program bantuan berupa perlindungan sosial berupa subsidi pupuk bagi para petani pemilik lahan yang tergabung dalam kelompok tani untuk kemudian disalurkan kepada buruh taninya dengan salah satu harapan dapat meningkatkan kualitas hidup buruh tani yang berada di ambang kemiskinan struktural (Astuti, 1993). Regulasi mengenai pemberian subsidi pupuk dan bibit ini sendiri diatur dalam SK Menperindag No.70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Februari 2003, tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian.

Dari adanya regulasi ini kami menduga teori yang digunakan oleh negara ialah Teori Kebijakan Publik Weimer dan Vining. Teori ini sendiri menjelaskan mengenai proses pembentukkan kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Dalam teori ini menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan diharuskan memuat advis (nasihat) yang berkenaan dengan keputusan yang mengandung nilai-nilai sosial untuk masyarakat (Maruji dkk, 2017). Kebijakan publik yang dimaksud merupakan kebijakan subsidi pupuk dan benih. 

Kebijakan subsidi pupuk dan benih ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan perlindungan pada masyarakat petani dan buruh tani berpendapatan rendah serta meningkatkan produksi pertanian. Subsidi pupuk sendiri mulai diberikan oleh pemerintah pada tahun 1970an dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pelaksananya. Menurut Zulaiha dkk (2018) subsidi pupuk setiap daerah akan dianggarkan sesuai dengan data kebutuhan pupuk dari setiap wilayah. Diketahui terdapat lima jenis pupuk subsidi yang diberikan, yaitu SP36, ZA, Urea, NPK, dan Organik. Kebijakan mengenai subsidi pupuk ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan petani pemilik lahan kecil yang awalnya kesulitan mendapatkan modal-modal produksi untuk bisa membeli pupuk sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.

Sayangnya, meski telah berjalan lama, program subsidi pupuk yang digalakkan pemerintah untuk membantu petani ini dapat dikatakan tidak berjalan dengan efektif. Terbukti dengan distribusi pupuk subsidi di Bali, hal ini disebabkan adanya ketidaktepatan jumlah pupuk bersubsidi dengan yang seharusnya didapatkan oleh para petani (Arisandi dan Rantau, 2016). 

Selain itu, di daerah lain seperti kebijakan pemberian subsidi di Desa Sukaasih Kabupaten Bekasi juga belum bisa dinilai efektif, sebab dari total 4 indikator ketepatan program subsidi yang diujikan, yakni tepat waktu, tepat guna, tepat jumlah, dan tepat harga, 2 diantaranya yakni tepat harga dan tepat jumlah belum berjalan dengan efektif dikarenakan petani dengan lahan luas juga akan mendapatkan subsidi pupuk yang lebih banyak dan petani dengan lahan yang sempit tidak mendapatkan subsidi pupuk dengan jumlah yang sesuai. (Adiraputra dan Supyandi, 2021). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun