I. Pendahuluan
Masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Timor, memainkan peran penting dalam dinamika sosial-politik lokal. Dengan struktur sosial yang kuat, praktik adat yang masih hidup, dan nilai-nilai kolektif yang terpelihara, mereka seringkali menjadi garda terdepan dalam mempertahankan identitas dan hak atas tanah. Namun, di tengah perkembangan sistem politik demokratis Indonesia, masyarakat adat kerap diposisikan sebagai objek, bukan subyek politik. Hubungan antara hukum negara dan hukum adat pun masih menunjukkan ketegangan dan ketidakseimbangan. Dalam konteks ini, pemikiran James Tully tentang demokrasi dialogis dan pluralisme konstitutif menjadi sangat relevan. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi bagaimana pendekatan Tully dapat membuka ruang baru bagi masyarakat adat Timor untuk menjadi aktor politik sejati, serta menimbang tantangan dan peluang implementasinya dalam praktik demokrasi lokal.
Namun, di tengah kemajuan sistem demokrasi dan sentralisasi kebijakan publik, masyarakat adat kerap hanya diperlakukan sebagai objek pembangunan, bukan sebagai subjek politik yang aktif. Proses-proses politik formal seperti pemilihan umum, penyusunan kebijakan daerah, hingga program pembangunan sering kali tidak mengakomodasi struktur sosial dan nilai-nilai adat yang sudah mapan.Ini menciptakan ketegangan antara negara yang beroperasi melalui pendekatan birokratis dan masyarakat adat yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip kolektif, spiritual, dan deliberatif.
Lebih dari sekadar perbedaan cara hidup, situasi ini menunjukkan adanya "ketidakseimbangan kekuasaan dalam menentukan arah politik dan hukum", yang secara langsung berdampak pada eksistensi komunitas adat. Sejumlah kasus konflik tanah, marginalisasi dalam pengambilan keputusan,hingga kegagalan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat di Timor menunjukkan betapa lemahnya posisi mereka dalam sistem politik modern.
Dalam konteks inilah, "pemikiran James Tully" menjadi relevan. Melalui gagasannya tentang "demokrasi dialogis" dan "pluralisme konstitutif", Tully mengajukan model politik yang memungkinkan semua kelompok, terutama yang terpinggirkan, untuk berpartisipasi secara aktif dan setara dalam membentuk aturan hidup bersama. Tully menekankan pentingnya "civic freedom", kebebasan warga untuk turut mengatur kehidupan mereka melalui praktik dialog dan negosiasi terus-menerus, bukan sekadar sebagai penerima kebijakan.
Pendekatan ini menawarkan paradigma baru bagi hubungan antara negara dan masyarakat adat, yakni bukan sebagai relasi antara pusat dan pinggiran, melainkan sebagai hubungan antar subjek yang setara dalam menentukan arah bersama. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana prinsip-prinsip demokrasi dialogis ini dapat diterapkan secara kontekstual di Timor, untuk membuka ruang politik yang lebih adil dan partisipatif bagi masyarakat adat.
II. Landasan Teoretis: Demokrasi Dialogis dan Civic Freedom menurut James Tully
James Tully adalah salah satu filsuf politik kontemporer yang dikenal karena kritiknya terhadap pendekatan liberal klasik dalam memahami konstitusionalisme dan demokrasi. Dalam karyanya "Strange Multiplicity: Constitutionalism in an Age of Diversity" (1995), Tully mengemukakan bahwa pemahaman konstitusi modern seringkali dibentuk oleh warisan kolonial yang menuntut homogenisasi nilai dan identitas politik. Ia menyebut pendekatan ini sebagai bentuk 'imperialisme konstitusional', di mana negara menstandarkan satu sistem hukum, satu identitas nasional, dan satu cara hidup, sambil meminggirkan atau bahkan menindas keberagaman lokal yang tidak sesuai dengan kerangka dominan.
Sebagai respon terhadap hal tersebut, Tully mengembangkan konsep "pluralisme konstitutif", yakni gagasan bahwa masyarakat justru dibentuk oleh keberagaman cara hidup, bukan oleh keseragaman. Dalam pandangan ini, konstitusi bukanlah seperangkat aturan baku yang mengikat dari atas, melainkan hasil dari proses negosiasi dan dialog antar berbagai komunitas yang memiliki sistem nilai dan hukum yang berbeda. Masyarakat adat, dalam kerangka ini, tidak lagi diposisikan sebagai entitas yang harus 'disesuaikan' dengan hukum negara, melainkan sebagai mitra yang setara dalam membentuk aturan hidup bersama.
Dalam "Public Philosophy in a New Key" (2008a), Tully memperkenalkan konsep "civic freedom", yang membedakan dirinya dari gagasan kebebasan liberal yang hanya menekankan pada hak-hak individu dalam kerangka hukum yang sudah ada. "Civic freedom" merujuk pada kemampuan kolektif suatu komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam membentuk, menafsirkan, dan merevisi aturan yang mengatur kehidupan mereka. Ini adalah kebebasan yang bersifat dialogis, partisipatif, dan kontekstual. Dalam masyarakat yang plural, seperti Indonesia, "civic freedom" menjadi fondasi bagi demokrasi yang tidak eksklusif dan elitis.
Tully juga menekankan pentingnya praktik demokrasi sebagai proses yang terus-menerus, bukan sebagai tujuan yang telah tercapai. Demokrasi dalam pandangan Tully tidak berhenti pada pemilu atau keberadaan institusi formal. Ia harus diwujudkan dalam bentuk ruang-ruang diskusi yang inklusif, di mana komunitas dapat menyuarakan kepentingannya, menantang aturan yang tidak adil, dan menawarkan alternatif berdasarkan pengalaman serta nilai-nilai lokal mereka.
Bagi masyarakat adat di Timor, pendekatan Tully memberikan dasar normatif dan praktis yang kuat untuk menuntut partisipasi politik yang sejati. Struktur musyawarah adat, prinsip kolektivitas, dan sistem kepemimpinan lokal sesungguhnya sudah mengandung elemen deliberatif yang sejalan dengan semangat demokrasi dialogis. Namun, untuk menjadi efektif dalam sistem demokrasi nasional, prinsip-prinsip ini harus diakui dan diberi ruang dalam struktur hukum dan politik negara. Dalam kerangka ini, praktik "listening" atau mendengarkan secara aktif menjadi instrumen penting bagi negara untuk membangun relasi yang setara dengan komunitas adat.
Dengan demikian, pendekatan James Tully mengajak kita untuk melihat demokrasi bukan sebagai struktur yang sudah jadi, melainkan sebagai praktik etis yang mengandaikan keterbukaan terhadap keberagaman. Ini menantang cara berpikir konvensional tentang kewarganegaraan, hukum, dan kebijakan publik, serta membuka peluang baru bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan untuk tampil sebagai subyek politik yang sah dan setara.
III. Potret Politik Masyarakat Adat di Pulau Timor
Pulau Timor, yang terletak di bagian selatan Nusa Tenggara Timur, merupakan wilayah yang kaya akan keanekaragaman budaya dan sistem sosial tradisional. Masyarakat adat di Timor memiliki struktur organisasi yang kompleks, yang diwariskan secara turun-temurun dan tetap eksis hingga hari ini. Sistem ini mencakup struktur kepemimpinan adat seperti 'liurai' (raja), 'meo' (prajurit adat), dan tetua adat yang menjalankan fungsi sosial, politik, dan spiritual di dalam komunitas mereka. Dalam praktiknya, lembaga adat ini tidak hanya berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai tradisional, tetapi juga sebagai mekanisme utama dalam menyelesaikan konflik, mengatur penggunaan sumber daya alam, dan membentuk norma sosial.
Meskipun memiliki kekuatan sosial yang besar, posisi masyarakat adat Timor dalam struktur politik formal negara masih sangat terbatas. Hukum nasional, terutama setelah otonomi daerah diberlakukan, tidak sepenuhnya mengakomodasi keberadaan dan sistem nilai masyarakat adat. Sebagai contoh, dalam proses perencanaan pembangunan daerah, banyak komunitas adat tidak dilibatkan secara substansial. Aspirasi mereka sering kali hanya dianggap sebagai 'masukan kultural' belaka, bukan sebagai pandangan politik yang sah dan mengikat. Hal ini mencerminkan dominasi cara pandang birokratis dan teknokratis dalam pengambilan keputusan publik.
Salah satu isu paling krusial yang dihadapi masyarakat adat di Timor adalah soal hak atas tanah. Tanah adat sering kali tidak diakui secara resmi dalam sertifikasi agraria nasional, sehingga rawan diklaim oleh pihak lain, termasuk negara dan investor swasta. Padahal, dalam konteks adat, tanah bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga entitas spiritual yang mengikat identitas kolektif komunitas. Ketika hak atas tanah tidak diakui, maka yang terancam bukan hanya hak milik, tetapi juga eksistensi sosial dan kultural masyarakat adat itu sendiri.
Keterbatasan pengakuan politik ini tidak lepas dari warisan kolonial dan model pemerintahan pascakolonial yang sentralistis. Dalam model ini, negara menjadi pusat kekuasaan yang menentukan siapa yang dianggap sah sebagai aktor politik. Masyarakat adat, dengan struktur deliberatifnya yang non-formal, sering kali dianggap tidak kompatibel dengan sistem demokrasi prosedural yang diadopsi oleh negara. Hal ini menunjukkan adanya 'asimetri politik' antara negara dan masyarakat adat.
Namun demikian, masyarakat adat di Timor tidak pasif. Dalam beberapa dekade terakhir, telah muncul berbagai gerakan lokal yang menuntut pengakuan hak adat secara hukum dan politik. Mereka membentuk aliansi, menyuarakan hak-hak mereka dalam forum publik, hingga menggugat kebijakan negara yang dianggap merugikan komunitas. Gerakan ini, jika dikaji melalui lensa teori James Tully, merupakan bentuk nyata dari praktik "civic freedom", di mana komunitas menolak menjadi objek hukum dan menuntut ruang untuk turut menentukan arah hidup mereka sendiri.
Dengan demikian, potret masyarakat adat di Pulau Timor menunjukkan adanya dinamika antara struktur politik negara dan struktur sosial lokal yang masih berlangsung secara tegang namun kreatif. Mereka menjadi contoh bagaimana demokrasi dialogis dapat dijalankan dalam konteks lokal yang berakar pada nilai-nilai komunitarian dan spiritualitas tanah, selama negara bersedia membuka ruang untuk negosiasi setara.
IV. Menimbang Demokrasi Dialogis dalam Politik Rekognisi Adat di Timor
Dalam konteks politik Indonesia, khususnya di wilayah-wilayah dengan komunitas adat yang kuat seperti Pulau Timor, demokrasi prosedural yang dijalankan oleh negara belum sepenuhnya mampu menjawab kebutuhan akan keadilan kultural dan partisipasi politik yang setara. Meskipun terdapat kerangka hukum seperti Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengakui keberadaan desa adat, implementasinya seringkali terbatas pada aspek administratif. Politik rekognisi terhadap masyarakat adat masih bersifat simbolik dan belum menyentuh substansi relasi kuasa antara negara dan komunitas lokal.
Melalui pendekatan James Tully, kita dapat melakukan penilaian kritis terhadap praktik politik pengakuan ini. Tully menekankan bahwa pengakuan sejati tidak cukup dilakukan secara satu arah dari negara kepada komunitas, tetapi harus dilakukan dalam bentuk dialog dua arah yang setara. Ini berarti masyarakat adat harus memiliki kapasitas untuk merundingkan bentuk pengakuan yang mereka butuhkan dan bagaimana pengakuan itu diwujudkan dalam kebijakan dan hukum.
Di Timor, praktik musyawarah adat dan pengambilan keputusan berbasis konsensus menjadi model demokrasi lokal yang kaya secara normatif. Sayangnya, negara belum cukup serius dalam menggali dan mengintegrasikan praktik-praktik ini ke dalam desain institusi demokrasi. Hasilnya adalah ketegangan antara sistem representasi politik formal dengan struktur deliberatif masyarakat adat. Misalnya, keterwakilan dalam DPRD tidak mencerminkan representasi struktur adat, dan partisipasi dalam Musrenbang seringkali tidak bermakna karena tidak adanya mekanisme deliberasi yang menghormati tata cara adat.
Tully menyarankan pentingnya pembentukan 'ruang-ruang dialogis' di mana komunitas adat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi pelaku aktif yang terlibat dalam proses penyusunan, pemaknaan, dan pengawasan kebijakan. Dalam konteks ini, rekognisi bukanlah akhir dari perjuangan politik masyarakat adat, melainkan titik awal dari proses negosiasi yang terus berlangsung. Demokrasi tidak dipandang sebagai sistem yang final, melainkan sebagai praktik yang terbuka terhadap revisi dan koreksi melalui partisipasi publik.
Dengan menjadikan demokrasi sebagai praktik dialogis, Indonesia berpotensi untuk mengembangkan model demokrasi yang lebih kontekstual dan responsif terhadap keragaman sosial-budaya. Di Timor, hal ini berarti memberi ruang formal bagi struktur adat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Negara perlu membangun mekanisme legal dan institusional yang memungkinkan dialog antara struktur negara dan struktur adat berlangsung secara setara dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, analisis berbasis pemikiran James Tully memberikan kerangka reflektif sekaligus normatif untuk menilai dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Dalam konteks Timor, pendekatan ini berkontribusi untuk merancang ulang hubungan antara negara dan masyarakat adat sebagai relasi yang kooperatif dan dialogis, bukan dominatif atau asimetris.
V. Implikasi Teoritis dan Praktis bagi Desain Demokrasi di Indonesia
Pendekatan James Tully terhadap demokrasi dialogis menawarkan perspektif segar untuk mendesain ulang sistem politik di Indonesia yang pluralistik. Secara teoritis, pandangan ini mendorong kita untuk keluar dari paradigma demokrasi liberal yang menekankan representasi formal dan hukum universal, menuju bentuk demokrasi yang berakar pada pengakuan terhadap keragaman cara hidup dan sistem pengetahuan lokal. Konsep "civic freedom" Tully menjadi sangat relevan karena menekankan pentingnya keterlibatan aktif komunitas dalam mendefinisikan aturan main politik, bukan sekadar menerima kebijakan dari atas.
Dalam konteks desain institusi politik Indonesia, pendekatan ini mengimplikasikan perlunya pembentukan mekanisme deliberatif yang melibatkan komunitas adat secara substansial. Ini bisa dilakukan melalui penguatan lembaga adat sebagai bagian dari sistem pemerintahan lokal, revisi terhadap sistem representasi politik yang membuka ruang bagi tokoh adat, serta pengakuan formal terhadap hukum adat dalam tata kelola wilayah dan sumber daya alam. Implikasi praktisnya mencakup penyusunan kebijakan yang berbasis pada prinsip konsultasi, persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), dan pelibatan komunitas dalam seluruh tahapan perumusan kebijakan.
Implikasi lainnya adalah perlunya reformasi dalam pendidikan politik dan kewarganegaraan agar tidak hanya mengajarkan norma-norma demokrasi Barat, tetapi juga membuka ruang untuk pengakuan praktik-praktik deliberatif lokal sebagai bentuk demokrasi yang sah. Pendidikan kewarganegaraan yang kontekstual ini dapat mendorong lahirnya kesadaran politik yang inklusif dan menghargai keragaman cara hidup.
Secara normatif, pemikiran Tully menantang negara untuk tidak hanya mengakui keberadaan masyarakat adat secara simbolis, tetapi benar-benar membuka diri terhadap proses negosiasi yang setara. Ini memerlukan perubahan sikap dari birokrasi dan elite politik untuk mau 'mendengarkan' (listening) secara aktif, sebagaimana ditekankan Tully. Proses mendengarkan ini bukan sekadar prosedur formal, melainkan upaya etis untuk memahami perspektif komunitas yang selama ini termarginalkan.
Dengan mengintegrasikan pendekatan ini ke dalam kebijakan negara, Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun model demokrasi yang tidak hanya prosedural tetapi juga substantif. Model ini akan lebih responsif terhadap kebutuhan komunitas-komunitas lokal, sekaligus mengukuhkan demokrasi sebagai proses yang terus hidup, tumbuh, dan direvisi melalui partisipasi publik.
Dalam kasus Pulau Timor, desain demokrasi yang membuka ruang bagi dialog antara struktur negara dan struktur adat menjadi kunci untuk menyelesaikan berbagai persoalan terkait hak atas tanah, sumber daya, dan identitas kultural. Proses ini harus dilihat bukan sebagai kompromi semata, tetapi sebagai peluang untuk memperkuat kohesi sosial dan keadilan politik yang lebih menyeluruh.
VI. Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan teori demokrasi dialogis dari James Tully memberikan kontribusi penting bagi analisis politik rekognisi terhadap masyarakat adat di Indonesia, khususnya di Pulau Timor. Dalam konteks di mana masyarakat adat masih mengalami marginalisasi baik secara hukum maupun politik, pendekatan Tully membuka ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif terhadap praktik-praktik demokrasi lokal yang berbasis musyawarah dan deliberasi adat.
Masyarakat adat di Timor tidak hanya memiliki struktur sosial-politik yang khas, tetapi juga menjalankan praktik deliberatif yang dapat memperkaya model demokrasi nasional. Sayangnya, dalam kerangka hukum dan kebijakan yang berlaku saat ini, pengakuan terhadap mereka masih bersifat simbolik dan administratif. Oleh karena itu, diperlukan perubahan mendasar dalam cara negara melihat dan memperlakukan masyarakat adat—bukan sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek politik yang memiliki hak untuk turut serta dalam perumusan kebijakan publik.
Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip "civic freedom" dan demokrasi dialogis, negara Indonesia berpeluang untuk membangun sistem demokrasi yang tidak hanya menghormati prosedur, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan substantif. Di Timor, hal ini berarti mengakui hukum adat, melibatkan struktur adat dalam proses pemerintahan lokal, dan membuka forum-forum dialogis yang setara antara negara dan komunitas adat.
Kesimpulan dari kajian ini mengarah pada satu pesan utama: demokrasi tidak bisa dibatasi pada kotak institusi formal, tetapi harus diperluas menjadi ruang terbuka bagi negosiasi, pengakuan, dan keterlibatan aktif seluruh warga negara, termasuk mereka yang hidup dalam kerangka sosial-budaya yang berbeda dari arus utama. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat menjadi lebih kontekstual, responsif, dan berkeadilan bagi semua.
Daftar Pustaka
-Tully, J. (1995). "Strange Multiplicity: Constitutionalism in an Age of Diversity". Cambridge University Press.
-Tully, J. (2008). "Public Philosophy in a New Key: Volume I, Democracy and Civic Freedom". Cambridge University Press.
-Tully, J. (2008). "Public Philosophy in a New Key: Volume II, Imperialism and Civic Freedom". Cambridge University Press.
-Tully, J. (2002). "The Unfreedom of the Moderns in Comparison to Their Ideals of Constitutional Democracy". Modern Law Review, 65(2), 204-228.
-Davidson, J. S., & Henley, D. (Eds.). (2007). "The revival of tradition in Indonesian politics: The deployment of adat from colonialism to indigenism". Routledge.
-Li, T. M. (2014). "Land’s end: Capitalist relations on an indigenous frontier". Duke University Press.
-Nicholson, A. (2016). Recognition and rights of Indigenous Peoples in the Timor region. "The Asia Pacific Journal of Anthropology, 17"(1), 63–81.
-Vel, J. (2008). Uma Politics: An ethnography of democratization in West Sumba, Indonesia. "KITLV Press".
-Warren, C. (2005). Mapping common futures: Customary communities, NGOs and the state in Indonesia's reform era. "Development and Change, 36"(1), 49–73.
-Indonesian Government. (2014). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
-Taylor, C. (1994). The politics of recognition. In A. Gutmann (Ed.), "Multiculturalism: Examining the politics of recognition" (pp. 25–73). Princeton University Press.
-Afiff, S. (2005). Agrarian reform and the difficult recognition of adat in Indonesia. "The Asia Pacific Journal of Anthropology, 6"(1), 97–120.
-Myers, F. (2002). Painting culture: The making of an Aboriginal high art. Duke University Press.
-Cornell, S., & Kalt, J. P. (2007). Two approaches to the development of Native Nations: One works, the other doesn’t. In M. Jorgensen (Ed.), "Rebuilding Native Nations" (pp. 3–33). University of Arizona Press.
-Warren, C., & McCarthy, J. F. (2009). "Community, environment and local governance in Indonesia: Locating the commonweal". Routledge.
-Davidson, J. S. (2009). From rebellion to rioting: Collective violence on Indonesian Borneo. University of Wiscon.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI