Kegiatan Canisius College Cup XL 2025 akhirnya dimulai. Sejak peluit pertama dibunyikan, suasana sekolah seakan berubah menjadi pusat energi muda yang menyala. Lapangan penuh semangat, tribun bergemuruh oleh sorak-sorai Alaska (Aliansi Suporter Kanisius), dan di setiap sudut sekolah tampak panitia berlari ke sana kemari memastikan segalanya berjalan lancar. Lebih dari 200 sekolah terlibat, dan lebih dari 500 panitia bekerja tanpa kenal lelah.
Namun di balik semua itu, CC Cup bukan sekadar pesta olahraga. Ia adalah cermin perjalanan karakter, tempat kami belajar untuk berjuang, bekerja sama, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Tahun ini, saya tak hanya menjadi penonton atau panitia tapi juga pemain yang merasakan langsung arti sesungguhnya dari magis: berjuang lebih dari yang diminta. Dalam hiruk-pikuk pertandingan, saya menyadari bahwa di lapangan itu, setiap orang sedang belajar tentang arti ketulusan, semangat, dan pengorbanan dalam bentuk paling nyata.
Saya masih ingat betul bagaimana sorak penonton menggema ketika tim sepak bola CC B melangkah ke lapangan untuk menghadapi SMKN 53. Semua tahu, kami bukan tim unggulan. Lawan punya reputasi besar, gaya bermain cepat, dan pengalaman panjang. Namun kami datang bukan untuk sekadar bertanding, melainkan membuktikan bahwa semangat bisa menembus segala batas.
Sejak menit awal, kami tampil disiplin. Kami tahu satu-satunya cara menghadapi tim kuat adalah bermain cerdas menutup ruang, menjaga ritme, dan saling percaya. Dan di sinilah letak keindahan yang tidak bisa diukur angka: kami berhasil mematikan pola permainan lawan. Kami bertahan dengan hati, menyerang dengan harapan. Walaupun akhirnya kalah tipis 1--0, semua pemain tahu, kami baru saja memenangkan sesuatu yang lebih penting dari skor kami memenangkan harga diri dan kebanggaan.
"Menang itu penting, tapi bertumbuh itu jauh lebih berharga."
Setelah peluit akhir berbunyi, tidak ada rasa marah atau kecewa. Justru yang muncul adalah rasa hormat dan solidaritas. Kami saling berpelukan dengan lawan, mengucapkan selamat, dan menepuk bahu satu sama lain. Tidak ada kata kasar, tidak ada keributan --- meskipun laga berlangsung panas. Di situlah saya belajar bahwa sportivitas sejati bukan tentang menahan emosi, tapi tentang mengubah persaingan menjadi persahabatan.
Bagi saya pribadi, pertandingan itu bukan sekadar tentang bola yang bergulir, tapi tentang bagaimana hati kami diuji. Dalam setiap tekel dan umpan, ada kerja sama, komunikasi, dan kepercayaan yang terbangun dari latihan panjang. Kami datang bukan untuk menaklukkan lawan, tapi untuk menaklukkan rasa takut dalam diri kami sendiri rasa takut kalah, gagal, atau dianggap lemah. Dari sanalah muncul daya juang yang tidak bisa dibeli, hanya bisa dilatih lewat pengalaman.
Di luar lapangan, saya memegang tanggung jawab lain: panitia P3K (pertolongan pertama). Peran ini tidak mudah. Saya harus tetap fokus bertugas, memastikan semua pemain aman, bahkan ketika saya sendiri juga harus bersiap bermain. Ada momen di mana saya kelelahan, keringat bercucuran, tapi hati tetap hangat karena tahu semua ini punya makna besar. Dari sinilah saya belajar tentang kepemimpinan yang sederhana, yaitu melakukan yang terbaik meski tidak ada yang melihat.
Tugas ganda itu mengajarkan saya arti tanggung jawab dan dedikasi. Di tengah tekanan dan waktu yang padat, saya menyadari bahwa bekerja untuk orang lain bisa memberi kebahagiaan yang jauh lebih dalam. Melihat pemain lain tertolong, atau panitia lain tersenyum lega, adalah bentuk kecil dari cinta terhadap komunitas.
"Magis bukan soal menjadi yang terbaik, tetapi menjadi lebih dari sebelumnya."
Tahun ini, saya juga merasakan energi baru di CC Cup. Peserta makin banyak, dan atmosfernya semakin luar biasa. Alaska tampil dengan koreografi dan nyanyian yang menggema, menciptakan suasana yang megah dan penuh rasa kebersamaan. Setiap pertandingan bukan hanya tontonan, tapi juga pengalaman emosional yang menyatukan semua orang panitia, pemain, bahkan penonton biasa. Saya melihat wajah-wajah muda yang tidak hanya datang untuk bersorak, tapi juga untuk merasakan semangat menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Namun, semua perjalanan ada akhirnya. Tim kami harus tersingkir di fase grup. Bagi sebagian orang, mungkin itu menyakitkan. Tapi bagi saya, justru di situlah saya menemukan makna terdalam dari CC Cup. Saya bersyukur karena bisa bermain untuk Canisius untuk terakhir kalinya, membawa semangat, kerja keras, dan cinta terhadap sekolah ini. Kekalahan itu mengajarkan saya tentang keikhlasan dan kerendahan hati dua hal yang tak akan diajarkan oleh kemenangan. Saya belajar menerima kenyataan dengan lapang dada, karena saya tahu, yang tumbuh bukan hanya kemampuan bermain bola, tapi juga karakter saya sebagai manusia.
Kini setelah turnamen usai, saya menyadari satu hal: CC Cup bukan sekadar ajang olahraga, tapi laboratorium karakter. Di sana, kami belajar tentang daya juang, tanggung jawab, solidaritas, dan kepemimpinan. Kami belajar bahwa kekalahan bisa menjadi guru terbaik, dan kemenangan sejati bukan tentang piala, tapi tentang keberanian untuk mencoba lagi.
Lapangan itu kini mungkin sudah sepi, namun gema sorak dan semangatnya masih terasa di hati saya.
Canisius College Cup telah membentuk kami bukan hanya menjadi pemain yang tangguh, tetapi manusia yang lebih berkarakter dan siap menghadapi hidup.
Dan pada akhirnya, saya paham bahwa perjalanan ini bukan tentang siapa yang juara, melainkan tentang siapa yang bertumbuh. Karena di balik setiap pertandingan, ada perjuangan yang membentuk jiwa. Dan di balik setiap kekalahan, selalu ada magis yang membuat kami menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI