Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Feel Free" dalam Character Building

5 Mei 2010   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bagi siswa boarding-school (asrama), kesempatan untuk jalan-jalan atau pulang ke rumah adalah saat yang ditunggu-tunggu. Itulah saat dan kesempatan indah untuk melepas sejenak dari rutinitas kegiatan belajar dan hidup berasrama. Maka, tidaklah heran jika suatu ketika anda berkunjung ke asrama pada hari Sabtu anda akan berjumpa "Yang muda yang ceria".

Dalam suasana seperti tu,  beberapa siswa datang menghadap untuk minta ijin pulang secara khusus karena telah membuat masalah. Kelompok siswa ini tadi pagi tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas. Katanya sakit tapi ketika diperiksa secara medis, tidak ditemukan penyakitnya. Kesimpulannya mereka pura-pura sakit. Perilaku ini sering terjadi di asrama. Umumnya mereka berani "mbolos" karena pelajaran hari Sabtu itu pelajaran yang mudah-mudah dan didukung oleh gurunya yang tidak galak atau familiar dengan siswa. Karena itu, diputuskan untuk memberi sanksi kepada mereka dengan tidak diperbolehkannya untuk pulang. Yang muda yang ceria, berubah menjadi kesedihan yang luar biasa sebagai anak muda yang siap malming (malam minggu).

"Bapak tidak mengijinkan kalian pulang ke rumah". Sekelompok siswa yang tadi pagi tidak ke sekolah dengan wajah cemberut menyampaikan berbagai argumen yang intinya hari Sabtu ini ingin pulang. Terjadilah perdebatan sengit antara tidak diijinkan dengan keinginan pulang. Memang, suasana saat itu sempat tegang dan terjadi adu argumentasi yang masuk akal juga.

"Terserah kalian. Kalian sekarang belajar mengambil keputusan. Dan keputusan itu keluar dari pertimbangan akal sehat dan hati yang bersih. Ambil keputusan masing-masing secara "feel free". Jadi, apa yang kalian ambil sebagai keputusan ya harus berani menanggung resiko dan dampak dari keputusan feel free kalian. Terserah kalian. Yang nekad mau pulang silahkan tulis nama dan tanda tangan".

Siswa-siswa yang masih remaja dan baru mencari identitas diri nampak diam dan rupanya berpikir juga untuk mengambil keputusan. Sempat terdengar, apa sih resikonya? Kemudian dijelaskan bahwa resiko yang harus ditanggung adalah mendapat sanksi kedisiplinan. Apa bentuknya, ya nanti setelah kalian menulis nama dan tanda tangan. Setelah terdiam sejenak, hanya dua siswa yang berani menulis. Itupun tujuannya hanya keluar sebentar untuk membeli keperluan sehari-hari.

Sejak peristiwa itu, mereka terbiasa dengan jargon "feel free" yang artinya siswa diberi kesempatan untuk belajar mempertanggungjawabkan sesuai dengan keputusan yang diambil secara masak. Dengan kata lain pembelajaran terjadi di sini. Siswa diberi ruang untuk menyakini dirinya bahwa ia sudah dewasa dan sudah saatnya belajar mempertimbangkan resiko atas perbuatannya. Secara psikologis, setiap perbuatan manusia itu berasal dari pikirannya dan pikirannya dipengaruhi dari hati dan rasa perasaannya. Ketika seorang mampu mengendalikan emosi, pikiran dan perbuatan, ia sedang belajar menjadi dewasa dan menempatkan diri untuk "to be successful in life" atau pembelajaran agar berhasil dalam kehidupan. Inilah dinamika pembentukan karakter di asrama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun