Selain jumlah yang terus naik, jenis bullying pun semakin beragam: fisik, verbal, hingga psikologis dan cyberbullying. Dari data Komisi Perlindungan Anak dan lembaga pemantau kekerasan, bullying fisik mendominasi (55,5 %), disusul bullying verbal (29,3 %) dan psikologis (15,2 %) (sekolahrelawan.org).
Di jenjang pendidikan, siswa SD tercatat menjadi korban terbesar (26 %), diikuti SMP (25 %) dan SMA (18,75 %) (sekolahrelawan.org). Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa luka lama bullying tak pernah benar-benar hilang --- ia terus muncul dalam bentuk dan wajah baru.
Sekolah sebagai institusi kekuasaan yang harusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak, malah sering kali menjadi ladang konflik dan kekerasan. Ketika guru dan pihak sekolah tidak siap atau tak sensitif terhadap sinyal kecil dari siswa, maka bullying mudah tumbuh dan membesar.Â
Dalam banyak kasus, sekolah hanya bereaksi ketika sudah terlambat. Kondisi ini membentuk lingkaran setan: kasus terjadi, publik berduka, kita berjanji untuk memperbaiki, lalu lupa, dan kasus baru muncul kembali. Sejarah hitam itu terus berulang.
Mengapa Selalu Terulang?
Pertama, budaya diam dan takut melapor menjadi akar yang memelihara siklus bullying. Banyak korban enggan bercerita karena takut dianggap lemah atau takut pembalasan.Â
Guru kadang menganggap pelecehan antar siswa sebagai "masalah anak-anak" yang wajar, bukan sebagai isu serius. Dalam penelitian UNICEF di Papua Barat, 87 % guru menilai bahwa sekolah sudah menangani pelecehan serius, tapi hanya 9 % siswa merasa laporan mereka diperlakukan serius (UNICEF).Â
Ketidaksesuaian persepsi inilah yang sering membuat korban merasa sendirian.
Kedua, banyak sekolah belum memiliki SOP penanganan bullying yang jelas dan tegas. Ketika laporan masuk, tindak lanjutnya sering berupa mediasi sederhana tanpa evaluasi sistemik atau pemulihan psikologis.Â
Akibatnya, korban tetap terluka, pelaku tak jera, dan sekolah tetap membisu. Kebijakan formal seperti Permendikbud tentang pencegahan kekerasan di sekolah belum sepenuhnya diterapkan dengan konsisten di banyak sekolah.
Ketiga, peran orang tua dan masyarakat masih kurang peka terhadap sinyal anak. Seringkali perubahan sikap anak dianggap "fase remaja" atau "kemalasan" tanpa dicari sumbernya.Â
Akibatnya, luka batin dibiarkan membesar dalam diam. Lingkungan sekitar, termasuk tetangga, teman, dan media sosial, terkadang ikut membiaskan narasi --- memandang korban sebagai pihak yang lemah.