Pariwisata literasi di Indonesia bahkan bisa diperkuat dengan dukungan komunitas daring. Tren BookTok yang banyak digandrungi anak muda bisa menjadi media promosi. Generasi digital ini bisa menjadi motor penggerak yang membuat retret membaca di Indonesia cepat dikenal luas.
Dengan segala kekayaan yang ada, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk menjadikan retret membaca sebagai bagian dari industri pariwisata kreatif. Pertanyaannya tinggal: siapa yang mau memulainya lebih dulu?
Tantangan dan Realitas
Meski potensinya besar, mengembangkan retret membaca di Indonesia bukan tanpa tantangan. Pertama adalah soal aksesibilitas. Tidak semua daerah yang kaya sastra punya infrastruktur pariwisata yang memadai. Transportasi, penginapan, hingga fasilitas publik sering kali masih terbatas.
Kedua, ada risiko retret membaca hanya menjadi tren untuk kalangan menengah ke atas. Jika biayanya terlalu mahal, kegiatan ini bisa menjadi elitis dan tidak inklusif. Padahal, semangat literasi seharusnya bisa dinikmati semua kalangan.
Tantangan lain adalah kesiapan masyarakat lokal. Pariwisata berbasis sastra membutuhkan pemandu yang tidak hanya menguasai bahasa, tetapi juga memahami isi buku dan konteks budayanya. Tanpa itu, retret membaca hanya akan menjadi perjalanan biasa tanpa nilai tambah.
Peran pemerintah daerah juga krusial. Banyak karya sastra lahir dari daerah tertentu, tetapi belum dianggap sebagai aset pariwisata. Dukungan regulasi, promosi, dan pendanaan diperlukan agar retret membaca bisa berjalan berkelanjutan.
Di sisi lain, perlu ada sinergi dengan komunitas literasi. Komunitas inilah yang sering kali lebih dekat dengan pembaca. Tanpa keterlibatan mereka, retret membaca bisa terasa artifisial dan kehilangan ruhnya.
Ada juga tantangan soal promosi. Bagaimana menjual ide ini ke masyarakat yang mungkin lebih terbiasa dengan wisata alam dan kuliner? Perlu strategi kreatif agar retret membaca tidak dianggap membosankan, melainkan justru eksklusif dan bernilai tambah.
Akhirnya, tantangan terbesar adalah membangun kesadaran bahwa literasi bisa menjadi daya tarik pariwisata. Selama membaca masih dianggap sekadar hobi pribadi, retret membaca akan sulit diterima sebagai bagian dari industri wisata.
Mimpi dan Ajakan
Meski penuh tantangan, bukan berarti retret membaca mustahil diwujudkan di Indonesia. Justru di sinilah mimpi itu menjadi menarik. Indonesia punya segalanya: cerita, tempat, komunitas, dan semangat. Tinggal bagaimana semua elemen ini dirangkai menjadi pengalaman yang unik.
Bayangkan sebuah retret membaca di Belitung. Peserta datang bukan hanya untuk menikmati pantai, tetapi juga membaca Laskar Pelangi bersama, berdiskusi di sekolah replika, dan bertemu langsung dengan penulis lokal. Itu bukan sekadar wisata, melainkan perjalanan literasi.