Ironisnya, ketika masalah terjadi, sekolah sering dianggap sebagai pihak yang lalai. Seolah-olah mereka tidak mampu mengawasi makanan yang masuk ke halaman sekolah. Padahal, dalam praktiknya, penyedia makanan MBG datang dari pihak ketiga yang ditunjuk lewat tender. Artinya, kendali penuh sebenarnya bukan berada di tangan sekolah.
Situasi semakin pelik karena banyak sekolah tidak memiliki sarana pendukung. Sebagian besar sekolah negeri tidak punya dapur layak, apalagi fasilitas pendingin untuk menyimpan makanan. Alhasil, sekolah hanya bisa menerima makanan yang diantar dari luar, tanpa banyak tahu bagaimana proses pengolahannya.
Meski demikian, tetap saja sekolah yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika keracunan terjadi. Ada kasus di mana pihak sekolah bahkan diminta membuat surat pernyataan atas insiden yang sebenarnya di luar kuasa mereka. Hal ini menunjukkan betapa berat beban yang mereka tanggung di tengah kebijakan yang belum matang dari sisi pengawasan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: adilkah menempatkan sekolah di tengah badai MBG, sementara instrumen pendukung mereka masih begitu terbatas?
Peran Sekolah yang (Belum) Jelas
Jika ditelusuri, peran sekolah dalam program MBG memang tidak diatur secara rinci. Sekolah diminta mendukung distribusi, memastikan makanan sampai kepada murid, dan melaporkan jika ada masalah. Namun, sejauh ini tidak ada aturan baku yang jelas tentang bagaimana sekolah harus mengawasi kualitas makanan.
Di beberapa daerah, ada praktik guru diminta mencicipi terlebih dahulu makanan MBG sebelum diberikan kepada siswa. Praktik ini sempat dipuji sebagai bentuk pengawasan di tingkat sekolah. Tetapi tentu saja, cara ini sangat sederhana dan tidak menjawab persoalan sesungguhnya.Â
Mencicipi rasa makanan tidak cukup untuk memastikan tidak adanya bakteri berbahaya seperti E. coli atau Salmonella yang bisa menimbulkan keracunan (IDN Times, 14/08/2024).
Sekolah memang punya kedekatan langsung dengan murid, tetapi tidak semua guru memiliki kapasitas untuk menilai keamanan pangan. Pengetahuan soal standar gizi, teknik penyimpanan, hingga pengolahan makanan sehat bukanlah bagian dari kurikulum pelatihan guru. Akibatnya, pengawasan sekolah lebih bersifat administratif ketimbang substantif.
Ketiadaan pedoman ini membuat tanggung jawab sekolah menjadi kabur. Apakah mereka hanya penghubung antara penyedia makanan dengan siswa, ataukah mereka harus bertindak layaknya badan pengawas pangan? Tidak adanya kejelasan inilah yang justru membuat sekolah rawan disalahkan saat masalah muncul.
Lebih jauh lagi, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga khusus untuk urusan MBG. Semua urusan akhirnya dibebankan kepada guru atau kepala sekolah, padahal mereka sudah terbebani oleh tugas utama mengajar dan administrasi. Situasi ini sering menimbulkan dilema etis dan profesional.
Jika pengawasan makanan memang harus menjadi bagian dari tugas sekolah, tentu dibutuhkan dukungan nyata. Misalnya, penempatan petugas gizi atau tenaga kesehatan di tiap sekolah, atau setidaknya pelatihan rutin bagi guru yang ditunjuk. Tanpa langkah-langkah itu, peran sekolah dalam MBG hanya akan menjadi formalitas.