Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mitos Kesejahteraan Buruh, Menggugat Janji Negara

28 Agustus 2025   11:47 Diperbarui: 28 Agustus 2025   11:47 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo Buruh 28 Agustus di Gedung DPR. (KOMPAS.com/ SHINTA DWI AYU)

Dengan demikian, klaim negara bahwa buruh sejahtera tampak semakin menjadi narasi kosong jika tak diikuti dengan kebijakan konkret dan penegakan hukum yang memadai.

Prekaritas Buruh sebagai Kenyataan Lapangan

Outsourcing dan kontrak kerja jangka pendek bukan lagi pengecualian; justru menjadi norma di banyak perusahaan skala industri. Mereka bagian dari produksi, tapi terpinggirkan dalam struktur keamanan kerja.

Keberadaan buruh yang kontraknya hanya beberapa bulan menandakan bahwa pembangunan ekonomi nasional dibangun di atas fondasi yang rapuh. Tanpa jaminan kerja, tanpa pesangon, dan tanpa kesempatan mengajukan cuti manusiawi, mereka hidup dalam kecemasan konstan.

Fenomena pekerja digital seperti driver ojek online menjadi realitas baru prekaritas. Mereka tak memiliki proteksi sosial yang mapan---meski pemerintah keukeuh menyebut ekonomi digital sebagai solusi pengentasan pengangguran, realitanya adalah pekerja semakin longgar statusnya dan semakin tak pasti.

Survei yang dilakukan oleh serikat pekerja, misalnya KSPI, mencoba memetakan kebutuhan hidup layak berdasarkan harga langsung di pasar---tidak hanya data statistik saja (sumber: Jobstreet). Ini upaya rakyat untuk mengisi kesenjangan data resmi dan praktik.

Tulisan yang dibuat sendiri ini bukan hanya kritik, tetapi upaya menandai bahwa buruh tahu mereka dihitung---tanpa menjadi subjek angka ideal pemerintah.

Sejumlah pekerja outsourcing pernah berkata, "Saya bekerja hari ini, tak tahu apa besok masih ada." Ini bukan hiperbola. Ini adalah realitas hidup yang dihadapi tiap pagi.

Regulasi ada, tetapi tidak dijalankan. Penegakan hukum, pengawasan perusahaan, dan kepedulian pemda dan pusat terhadap kesehatan sosial pekerja---semuanya seperti tertinggal di belakang narasi pertumbuhan ekonomi.

Prekaritas inilah yang sesungguhnya menjadi wajah kesejahteraan buruh di Indonesia---sesuatu yang masih jauh dari janji, dan terus menjadi narasi perjuangan.

Dampak Sistemik dari Mitos Kesejahteraan

Ketika kesejahteraan hanya menjadi slogan, maka konsekuensinya tak bisa hanya dilihat sebagai persoalan individual. Secara sosial, ketidakpastian kerja membuat buruh gampang terdorong ke demo setiap tahunnya---hostum, mogok, mengadang lalu lintas---karena sistem nyata tidak merangkul mereka.

Di ranah ekonomi, daya beli buruh yang rendah pada akhirnya melemahkan konsumsi domestik. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pun kehilangan fondasi---bagaimana pasar bisa kuat jika konsumen utama tak punya daya beli?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun