Orang tua pun bisa dilibatkan dalam pengawasan. Komite sekolah bisa membentuk tim kecil yang secara bergiliran memantau kualitas makanan setiap hari. Dengan begitu, pengawasan bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga masyarakat langsung.
Edukasi kepada siswa juga penting. Anak-anak bisa diajarkan mengenali tanda-tanda makanan basi, seperti bau tidak sedap atau tekstur yang berlendir. Mereka juga perlu diberi keberanian untuk menolak makan jika makanan mencurigakan. Pendidikan semacam ini akan menambah lapisan perlindungan tambahan.
Selain itu, teknologi bisa dimanfaatkan. Aplikasi pengawasan makanan berbasis laporan cepat bisa dibuat, di mana guru atau orang tua dapat langsung melaporkan jika ada masalah. Laporan ini bisa menjadi sistem peringatan dini untuk mencegah kasus besar.
Dari sisi kebijakan, pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola MBG. Jangan sampai program sebesar ini hanya menjadi proyek politik tanpa mempertimbangkan kelayakan teknis. Audit independen terhadap penggunaan anggaran dan mekanisme distribusi menjadi hal yang mendesak.
Tidak kalah penting, keberlanjutan program harus diimbangi dengan pelatihan bagi penyedia makanan. Usaha kecil yang terlibat harus diberikan bimbingan tentang standar higienitas dan manajemen makanan massal. Dengan cara ini, kualitas penyedia akan meningkat seiring waktu.
Pada akhirnya, solusi tidak hanya soal teknis, tetapi juga soal komitmen. Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan MBG sebagai program unggulan, maka keselamatan anak-anak harus ditempatkan di atas segalanya. Sebab, apalah artinya gizi gratis jika justru menghadirkan rasa sakit dan trauma bagi penerimanya.
PenutupÂ
Program Makanan Bergizi Gratis lahir dari niat mulia: memberi kesempatan yang sama bagi semua anak Indonesia untuk tumbuh sehat. Namun, perjalanan program ini penuh tantangan. Kasus keracunan di Sragen, Kupang, hingga Tembilahan menunjukkan ada masalah serius dalam implementasi.
Dilema pun mengemuka. Di satu sisi, program ini penting untuk mengatasi masalah gizi dan stunting. Di sisi lain, risiko keamanan yang terus menghantui membuat orang tua cemas. Inilah titik krusial di mana pemerintah harus membuktikan keseriusan, bukan hanya retorika.
Makanan seharusnya menjadi sumber energi dan kebahagiaan, bukan sumber rasa takut. Anak-anak berhak mendapatkan makanan yang layak dan aman. Orang tua berhak mendapatkan ketenangan hati ketika melepas anak mereka ke sekolah.
Maka, refleksi yang perlu kita pegang adalah sederhana: jangan sampai cita-cita menyehatkan anak bangsa justru berubah menjadi cerita menakutkan di ruang IGD.
Program MBG harus diperbaiki, bukan dihentikan. Ia harus dijalankan dengan keseriusan, bukan sekadar untuk memenuhi janji. Hanya dengan begitu, program ini bisa benar-benar menjadi hadiah gizi, bukan ancaman kesehatan.