Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah Program MBG Masih Dipercaya?

24 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 22 September 2025   15:37 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi MBG. (KOMPAS.COM/BAYUAPRILIANO)

Kini, kejadian serupa terulang di Tembilahan, Riau. Narasinya hampir sama: makanan dengan bau tidak sedap, siswa muntah, dan akhirnya harus dirawat. Pola yang konsisten ini menimbulkan kesan bahwa masalahnya bukan insidental, melainkan sistemik.

Salah satu faktor yang sering disebut adalah proses distribusi makanan yang panjang. Di beberapa daerah, makanan dimasak di dapur pusat lalu dibawa ke sekolah-sekolah dengan jarak cukup jauh. Dalam cuaca panas tanpa pendingin memadai, kualitas makanan tentu mudah menurun.

Selain itu, pengawasan di tingkat sekolah sering kali hanya bersifat administratif. Guru atau pihak sekolah tidak selalu berani menolak makanan yang sudah dikirim, meski kadang tampak tidak segar. Mereka khawatir dianggap tidak mendukung program pemerintah.

Masalah lain terletak pada pemilihan penyedia katering. Beberapa laporan investigasi menunjukkan adanya dapur fiktif atau usaha katering tanpa standar higienitas yang jelas. Kompas (2024) menulis bahwa di Jawa Barat ditemukan titik dapur MBG yang bahkan tidak memiliki fasilitas layak untuk memasak massal.

Di sisi lain, anak-anak adalah kelompok paling rentan. Sistem kekebalan tubuh mereka belum sekuat orang dewasa, sehingga makanan basi atau terkontaminasi mudah menimbulkan gejala keracunan. Artinya, satu kesalahan kecil dalam pengolahan bisa berdampak besar pada kesehatan.

Orang tua pun semakin waswas. Awalnya, mereka menyambut gembira ketika anak-anak diberi makan bergizi gratis. Tapi setelah mendengar kasus berulang, rasa syukur itu berubah menjadi kecemasan. Banyak yang mulai melarang anak mereka makan di sekolah dan memilih membekali dari rumah.

Masalah berulang ini menunjukkan ada yang salah di level implementasi. Program yang seharusnya menumbuhkan rasa percaya justru melahirkan krisis kepercayaan. Tanpa evaluasi serius, kasus keracunan MBG tampaknya hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi di daerah lain.

Dilema yang Mengemuka 

Dari kasus-kasus keracunan yang terus berulang, dilema besar mulai tampak. Program MBG hadir dengan niat mulia: memastikan anak-anak sekolah dasar mendapat asupan gizi memadai. Namun, di sisi lain, kejadian-kejadian keracunan membuat banyak pihak bertanya apakah program ini benar-benar aman dijalankan.

Keadilan gizi menjadi argumen terkuat pendukung MBG. Tidak semua anak lahir dalam keluarga yang mampu menyediakan sarapan sehat setiap hari. Data BPS tahun 2022 mencatat hampir 10 persen rumah tangga Indonesia masih berada dalam kategori miskin.

Artinya, jutaan anak datang ke sekolah dengan perut kosong. Dalam konteks ini, MBG berfungsi sebagai penyeimbang yang menghadirkan kesempatan belajar yang lebih setara.

Namun, di hadapan manfaat itu, ada risiko besar yang tidak bisa diabaikan: keamanan konsumsi. Jika makanan yang diberikan tidak higienis atau penyimpanannya tidak sesuai standar, justru anak-anak yang harus menanggung akibatnya. Alih-alih menjadi sehat, mereka jatuh sakit. Alih-alih lebih fokus belajar, mereka justru absen karena harus dirawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun