Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Soejatin Kartowijono dan Politik Gender dalam Sejarah Sumpah Pemuda

19 Agustus 2025   17:18 Diperbarui: 19 Agustus 2025   17:18 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kerangka itu, kita bisa melihat bahwa politik gender bukan sekadar soal keterwakilan formal. Ia juga tentang bagaimana perempuan membangun makna di balik simbol, dan bagaimana mereka mengubah ruang publik yang awalnya tidak ramah. Soejatin menunjukkan bahwa meskipun perannya tidak sebesar tokoh laki-laki, makna kehadirannya jauh lebih besar daripada yang tampak di permukaan.

Politik gender dalam Sumpah Pemuda juga berfungsi sebagai cermin bagi kita hari ini. Kita bisa bertanya: apakah sejarah Indonesia modern sudah benar-benar adil gender? Ataukah kita masih mengulang pola lama, di mana perempuan hanya hadir sebagai simbol, tetapi jarang diberi ruang kepemimpinan sejati? Pertanyaan ini relevan, sebab politik representasi masih menjadi isu utama dalam demokrasi kita.

Dengan melihat kembali peran Soejatin, kita belajar bahwa perjuangan kebangsaan bukan hanya melawan penjajah asing, tetapi juga melawan penjajahan internal yang berbentuk patriarki. Sumpah Pemuda mengajarkan tentang persatuan bangsa, tetapi politik gender di dalamnya mengingatkan kita bahwa persatuan sejati harus melibatkan semua warga tanpa kecuali.

Pada akhirnya, Soejatin Kartowijono telah menorehkan jejak penting dalam politik gender Indonesia. Ia adalah perempuan muda yang berani hadir dalam ruang maskulin, yang menjadikan tubuhnya sebagai pernyataan politik, dan yang kemudian membangun ruang khusus untuk perempuan. Dari sana, ia mengajarkan bahwa politik gender bukan sekadar perjuangan melawan ketidakadilan, melainkan perjuangan untuk menciptakan narasi baru yang lebih setara.

Dampak dan Jejak Pemikiran Soejatin

Dampak pemikiran Soejatin Kartowijono dapat dirasakan segera setelah Kongres Pemuda II selesai. Hanya berselang dua bulan, pada Desember 1928, ia turut menggagas Kongres Perempuan Indonesia pertama yang digelar di Yogyakarta. Jika Sumpah Pemuda melahirkan ikrar persatuan bangsa, maka Kongres Perempuan melahirkan ikrar persatuan perempuan. Kedua peristiwa itu saling melengkapi, dan Soejatin adalah benang merah yang menghubungkannya.

Kongres Perempuan menjadi arena di mana perempuan tidak lagi hanya hadir sebagai simbol, tetapi sebagai subjek penuh. Di sana, isu-isu penting seperti pendidikan bagi perempuan, pernikahan usia dini, dan hak-hak sosial mulai dibicarakan secara serius. Soejatin bersama tokoh-tokoh perempuan lainnya menegaskan bahwa kemerdekaan bangsa tidak akan berarti tanpa kemerdekaan bagi kaum perempuan. Inilah dampak paling nyata dari keterlibatan Soejatin di Kongres Pemuda: ia membawa energi persatuan ke dalam gerakan perempuan.

Jejak pemikirannya terlihat jelas dalam gagasan bahwa perjuangan perempuan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan kebangsaan. Soejatin memahami bahwa bangsa yang merdeka tidak boleh melupakan separuh warganya. Ia menyadari, jika perempuan tetap terbelenggu oleh ketidakadilan, maka bangsa Indonesia tidak pernah benar-benar merdeka. Pemikiran ini menunjukkan keluasan visi yang jauh melampaui zamannya.

Dari sinilah lahir konsep yang kini kita kenal sebagai Hari Ibu. Bagi Soejatin dan kawan-kawannya, Hari Ibu bukanlah perayaan domestik seperti yang sering dipahami sekarang, melainkan momentum politik untuk mengenang perjuangan perempuan. Hari Ibu adalah peringatan bahwa perempuan telah, sedang, dan akan terus menjadi bagian dari perjuangan bangsa. Tanpa jejak Soejatin, makna Hari Ibu mungkin tidak akan sekuat itu.

Dampak pemikiran Soejatin juga terasa dalam cara generasi berikutnya memahami relasi antara feminisme dan nasionalisme. Ia menunjukkan bahwa keduanya bukan dua hal yang bertentangan, tetapi justru saling menopang. Feminisme tanpa nasionalisme akan kehilangan konteks kebangsaan, sementara nasionalisme tanpa feminisme akan kehilangan separuh kekuatannya. Soejatin berhasil mempertautkan keduanya dalam satu garis perjuangan yang sama.

Jejak itu terlihat pula dalam cara perempuan Indonesia mulai memasuki dunia politik. Setelah 1928, semakin banyak perempuan yang terinspirasi untuk terlibat dalam organisasi, baik di tingkat lokal maupun nasional. Mereka tidak lagi hanya memperjuangkan isu perempuan, tetapi juga isu kebangsaan secara luas. Dalam hal ini, Soejatin telah membuka jalan. Kehadirannya di Sumpah Pemuda adalah sinyal bagi generasi berikutnya bahwa perempuan punya tempat di panggung sejarah.

Dampak lain dari kiprahnya adalah lahirnya kesadaran bahwa perempuan harus membangun organisasi sendiri. Meskipun mereka bisa hadir di forum-forum campuran seperti Kongres Pemuda, namun tanpa ruang khusus, suara perempuan tetap akan tertutupi. Kongres Perempuan adalah jawaban atas keterbatasan itu. Di sanalah, agenda-agenda spesifik perempuan bisa diperjuangkan secara sistematis. Soejatin menjadi salah satu arsitek yang menyadari pentingnya strategi ganda: bekerja dari dalam forum nasional, sekaligus membangun kekuatan perempuan secara mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun