Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa menulis bukan hanya soal kemampuan merangkai kata, tetapi juga soal keberanian mengambil sikap. Setiap kalimat yang kita tulis membawa konsekuensi, baik yang terlihat maupun yang tak terduga.
Saya belajar bahwa rasa bahagia dan rasa takut bisa hadir bersamaan, saling berkelindan seperti dua sisi mata uang. Kebahagiaan memberi semangat, sementara ketakutan memberi kewaspadaan.
Bagi penulis pemula seperti saya, momen dimuatnya artikel di media besar adalah pencapaian yang membanggakan. Namun, saya juga mengerti bahwa pencapaian itu datang bersama tanggung jawab besar untuk menjaga integritas tulisan.
Pesan yang ingin saya sampaikan kepada penulis lain adalah jangan biarkan rasa takut menghentikan langkah. Rasa takut adalah sinyal untuk berhati-hati, bukan untuk mundur.
Kita bisa tetap kritis tanpa kehilangan kesantunan. Kita bisa mengkritik sistem tanpa menjatuhkan martabat individu. Semua itu mungkin, asalkan kita menulis dengan dasar yang kuat dan niat yang jelas.
Saya juga berharap media terus memberikan ruang bagi penulis pemula untuk bersuara, dengan tetap menjaga standar etika jurnalistik. Ruang seperti ini penting untuk membangun budaya diskusi yang sehat.
Kebebasan berpendapat bukan berarti bebas berkata apa saja tanpa konsekuensi, melainkan kebebasan untuk menyampaikan pikiran dengan cara yang bertanggung jawab.
Saya percaya, jika lebih banyak orang berani menulis dengan prinsip seperti ini, kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih matang dan demokratis.
Pengalaman ini mungkin akan saya ingat selamanya, bukan hanya karena artikel saya dimuat, tetapi karena proses emosional yang menyertainya.
Dan saya yakin, perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak cerita yang menunggu untuk ditulis, dengan segala risiko dan keindahan yang datang bersamanya.
Penutup
Menulis adalah perjalanan yang penuh warna. Ada tawa, ada cemas, ada rasa puas, ada pula kegelisahan. Semua itu bercampur menjadi pengalaman yang utuh.