Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Antara Bangga dan Waswas, Kisah di Balik Tulisan Saya di Kompas.com

16 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 18 Agustus 2025   14:49 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkap layar tulisan penulis yang di muat di laman KOMPAS.com. Dokumen Pribadi Julianda Boang Manalu

Bagi saya, ini bukan sekadar masalah teknis hukum, tapi juga masalah perlindungan hak asasi manusia. Ketika seseorang sudah distigma di mata publik, proses peradilan menjadi berat sebelah. Apalagi jika media ikut memberitakan secara masif tanpa memberikan ruang yang cukup untuk klarifikasi.

Menulis topik ini tentu membutuhkan kehati-hatian. Saya harus memastikan bahwa kritik saya ditujukan pada sistem, bukan menyerang individu tertentu. Saya membaca berbagai peraturan hukum, menelusuri putusan pengadilan, dan mempelajari standar penyidikan di negara lain. Semua itu saya rangkum dalam bahasa yang saya harap mudah dipahami pembaca umum.

Saya sadar betul bahwa Polri adalah institusi besar dengan peran vital. Kritik terhadap mereka sering kali dianggap sensitif, apalagi jika disampaikan di media arus utama. Namun, saya percaya bahwa kritik konstruktif adalah bagian dari upaya membangun negara yang lebih baik.

Ketika mengirimkan naskah ke Kompas.com, saya sama sekali tidak membayangkan tulisan ini akan dimuat. Saya hanya berpikir, setidaknya editor akan membaca dan mungkin memberikan masukan. Tapi ternyata, beberapa hari kemudian, artikel itu langsung tayang.

Publikasi itu bukan hanya sebuah pencapaian pribadi, tapi juga sebuah momen pembuktian bahwa suara penulis pemula bisa sampai ke ruang publik yang luas. Namun, bersama dengan rasa bangga itu, saya mulai menyadari konsekuensi yang mungkin muncul.

Dalam dunia menulis, ada pepatah bahwa "setiap kata adalah anak panah". Sekali dilepaskan, ia akan melesat tanpa bisa ditarik kembali. Begitu juga tulisan saya. Setelah dimuat, ia hidup sendiri, dibaca, dikomentari, bahkan mungkin disalahpahami.

Kesadaran ini membuat saya memandang tulisan itu dengan kacamata berbeda. Ia bukan lagi sekadar rangkaian kata di layar laptop, tapi sebuah pernyataan publik yang bisa membawa dampak --- baik yang saya harapkan maupun yang tidak saya duga.

Ledakan Rasa Bahagia

Begitu artikel itu resmi tayang, saya hampir tidak bisa menahan diri untuk membagikannya ke berbagai grup dan media sosial. Saya mengirim tautannya ke keluarga, teman dekat, dan beberapa kolega yang selama ini tahu saya suka menulis. Respons mereka membuat hati saya semakin hangat.

Beberapa teman langsung menelpon, sekadar mengucapkan selamat. Ada yang mengirim pesan, "Wah, luar biasa! Baru pertama kali kirim, langsung tembus Kompas.com." Rasanya seperti mendapat pelukan virtual dari banyak orang sekaligus.

Keluarga saya pun tampak ikut bangga. Ayah saya, yang biasanya jarang menanggapi hal-hal seperti ini, tiba-tiba berkata, "Ini tulisan yang baik, Nak. Semoga bermanfaat untuk banyak orang." Kalimat sederhana itu terasa seperti penghargaan yang besar.

Di media sosial, komentar-komentar positif mulai berdatangan. Ada yang menandai saya di status mereka, ada pula yang menulis ulang beberapa kalimat dari artikel saya sebagai kutipan. Saya merasa seperti suara saya mendapat ruang, dan ide yang saya sampaikan benar-benar sampai kepada pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun