Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan ASN dalam Menjawab Ketimpangan Sosial melalui DWP

22 Juli 2025   11:50 Diperbarui: 22 Juli 2025   11:13 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penasihat I DWP Kemensos Fatma Saifullah Yusuf menyerahkan bantuan ke penyandang disabilitas di Yogyakarta, 16/07/2025. (Dok. Kemensos via KOMPAS.COM)

Di tengah alur perubahan sosial yang kian dinamis, peran perempuan---terutama Aparatur Sipil Negara (ASN)---kian terlihat vital dalam menangani persoalan ketimpangan yang menghimpit sebagian lapisan masyarakat. Salah satu ruang nyata pengabdian ini adalah lewat wadah Dharma Wanita Persatuan (DWP) di bawah payung Kementerian Sosial (Kemensos). 

DWP, secara konsisten, hadir dengan misi yang menguatkan solidaritas, merajut jaringan pemberdayaan, dan menyentuh secara langsung kebutuhan masyarakat rentan. 

Salah satu contohnya adalah program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) yang menyalurkan bantuan berupa kursi roda, paket sembako, nutrisi, alat sekolah, sampai dukungan kewirausahaan untuk lansia, penyandang disabilitas, dan anak yatim piatu di Yogyakarta (KOMPAS.COM).

DWP sebagai Ekspresi Kepedulian Perempuan ASN

Kehadiran DWP tidak sekadar formalitas administratif. Sebaliknya, ini adalah bentuk nyata komitmen sosial para perempuan ASN yang bersentuhan langsung dengan akar masalah ketimpangan. 

Mereka bukan lagi sebatas penggerak acara seremonial semata, tetapi figur signifikan dalam menjangkau kelompok yang terpinggirkan. 

Pilihan strategi pun beragam, murahan secara ritual, tetapi bermakna di jiwa penerima manfaat: dari kursi roda cerebral palsy yang menolong mobilitas penyandang disabilitas di Sleman, hingga paket sembako buat para lansia yang hidup sebatang kara (KOMPAS.COM).

Yang menarik, tubuh DWP menunjukkan karakter kelembutan khas perempuan ASN---empati di atas segala-galanya---tapi bertindak dengan integritas birokrasi. Mereka turun, berdialog, dan menyuarakan narasi ketimpangan dari sisi yang selama ini kurang diekspos. 

Perspektif mereka menggugah publik agar melihat bahwa upaya penghapusan kemiskinan tak cukup lewat program makro, harus ada sentuhan manusiawi agar dampak terasa langsung.

Dilansir dari KOMPAS.COM, DWP Kemensos tidak berjalan sendiri. Seperti yang terjadi baru-baru ini, mereka menggandeng Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Yogyakarta untuk mewujudkan program Atensi sebagai jaring pengaman sosial yang lebih kuat.

Kolaborasi ini bukan hanya sebatas format acara, tetapi tiga kata kunci utama: responsif, inklusif, dan berkelanjutan. Lewat BBPPKS, para ibu ASN ikut terlibat dalam kegiatan sosial seperti parenting, penyuluhan, bazar, dan pengajian---yang dirancang untuk memperkaya keterlibatan masyarakat lokal.

Lebih jauh lagi, ini menunjukkan keberanian DWP menembus ruang-ruang yang selama ini identik dengan struktur birokrasi kaku. Mereka membuat nursery parenting bagi orangtua, bazar murah dalam bulan Ramadhan, dan santunan anak yatim sebagai praktik keberlanjutan. 

Bentuk-bentuk ini menciptakan wacana baru kepada publik bahwa perempuan ASN, lewat DWP, mampu menghadirkan inovasi sosial dalam bayang-bayang institusi pemerintahan.

Refleksi Sosial dan Jargon "Kemensos Selalu Hadir"

Fatma Saifullah Yusuf, Penasihat I DWP Kemensos, menyampaikan bahwa Atensi bukan sekadar transfer bantuan, melainkan simbol bahwa "Kemensos selalu hadir". 

Ungkapan ini punya interpretasi ganda: kehadiran negara sebagai pelindung dan jaminan sosial, juga kehadiran perempuan ASN sebagai manifestasi konkret empati dan dedikasi. Kalimat ini membungkus makna sosial-diplomasi: adanya hubungan intens antara negara, perempuan ASN, dan masyarakat penerima.

Potensi terbesar dari jargon ini adalah menanamkan rasa aman, sekaligus menumbuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga sosial negara. Di mata penerima manfaat, mereka tak sekadar menerima barang atau uang, melainkan perasaan didengar dan diperhatikan. 

Solidaritas ini semakin diperkuat dengan keterlibatan seniman lokal, ibu-ibu ASN yang ikut bernyanyi hormat di Aula BBPPKS, maupun apresiasi Kepala BBPPKS Eva Rahmi Kasim yang menegaskan bahwa kehadiran DWP membakar semangat komunitas lokal.

Momen seperti bernyanyi Indonesia Raya bersama penyandang disabilitas menjadi simbol persatuan lintas kondisi sosial. Ini bukan ritual seremonial kosong, melainkan afirmasi sosial bahwa mereka pun bagian tak terpisahkan dari tatanan bangsa. Perempuan ASN hadir untuk menyatukan mobilitas sosial dan kesadaran kolektif.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Di balik warna-warni keberhasilan, praktik ini tidak bebas dari tantangan. Salah satu yang esensial adalah bagaimana memastikan keberlanjutan program bukan hanya di momentum kunjungan atau acara lalu selesai. Institusionalisasi peran perempuan ASN harus dikembangan menjadi jaringan relawan sosial yang terstruktur dan berkala. 

Integrasi data penerima manfaat, evaluasi kebutuhan tiap wilayah, dan prosedur asesmen keluarga atau komunitas adalah pondasi agar intervensi benar-benar tepat target.

Lebih lanjut, upaya mengangkat perempuan ASN sebagai agen perubahan juga butuh pengembangan kapasitas yang intensif: pelatihan kepemimpinan sosial, komunikasi krisis, hingga pengolahan data sosial. 

Ini agar peran kemanusiaan mereka semakin strategis, bukan sekadar berbasis acara. Ketimpangan sosial menuntut strategi jangka panjang, dan perempuan ASN punya peluang besar dalam menggerakkan sinergi birokrasi & masyarakat.

Harapan berikutnya adalah makin banyak daerah yang mencontoh Yogyakarta. Apalagi, angka   kemiskinan dan ketertinggalan di Indonesia masih tinggi. Bila perempuan ASN dari provinsi ke provinsi bersinergi dengan Balai sosial setempat, dampaknya bisa massif. Tidak hanya menciptakan goodwill, tetapi juga menumbuhkan ekosistem sosial advokasi mandiri dari bawah.

Penutup

Tulisan ini hendak menegaskan satu hal utama: perempuan ASN yang tergabung dalam DWP tak sekadar menjadi pelengkap struktur pemerintahan, tetapi justru menjadi ujung tombak dalam menjawab ketimpangan sosial. 

Lewat jiwa feminis reflektif, mereka meredam kekakuan birokrasi dan menggantinya dengan ketulusan sosial. Dengan jargon "Kemensos selalu hadir", mereka membawa narasi kehadiran negara dalam rasa empati dan hormat kemanusiaan.

Kalau selama ini program sosial sering dikaitkan dengan jumlah dana atau alokasi, keberadaan DWP memperlihatkan dimensi lain: penguatan hubungan sosial, kecanggihan soft diplomacy, dan inovasi lokal yang menyentuh langsung. 

Semoga makin banyak perempuan ASN yang melihat panggilan serupa. Karena pada akhirnya, ketimpangan hanya bisa disuruh ketika individu-individu kecil berani hadir dan bertindak---dengan kelembutan, dedikasi, dan kepercayaan bahwa perubahan sosial dimulai dari satu hati yang peduli.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun