Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

UU Hak Cipta di Antara Norma dan Nalar

10 Juli 2025   10:54 Diperbarui: 10 Juli 2025   10:54 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: cekindo.com/Freepik)

Secara normatif, hukum tidak memberikan diferensiasi. Namun secara rasional, banyak orang menilai bahwa aktivitas tersebut tidak memiliki tujuan komersialisasi dan tidak merugikan pencipta secara nyata, terutama jika pertunjukan tidak direkam, disiarkan ulang, atau dijual.

Ketegangan antara norma legal dan nalar publik juga diperparah dengan pendekatan strict liability atau tanggung jawab mutlak yang diterapkan dalam beberapa kasus. Dalam pendekatan ini, siapa pun yang melanggar hak cipta, meski tanpa niat komersial, tetap dianggap bersalah. 

Hal ini bertentangan dengan prinsip umum dalam hukum pidana dan hukum perdata yang mengedepankan unsur niat, motif, serta akibat hukum yang nyata, sebelum menjatuhkan sanksi.

Ketika hukum gagal membedakan antara niat eksploitasi dan ekspresi sosial, ia menjadi instrumen yang membatasi ruang hidup masyarakat. Padahal, musik dalam konteks pernikahan bukan sekadar hiburan, melainkan juga bagian dari ekspresi budaya, identitas sosial, dan komunikasi emosional yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Indonesia. 

Oleh karena itu, interpretasi hukum yang terlalu tekstual dan sempit atas UU Hak Cipta berisiko menciptakan overregulation yang pada akhirnya akan mengikis legitimasi hukum itu sendiri.

Dalam kerangka ini, menjadi penting untuk menafsir ulang pasal-pasal pengecualian dalam UU No. 28 Tahun 2014, dengan pendekatan yang lebih kontekstual, berbasis prinsip proporsionalitas, dan mempertimbangkan nilai sosial dari penggunaan karya. Tanpa itu, hukum hanya akan berjalan sebagai teks yang mati---dipatuhi karena takut, bukan karena dipahami dan dipercaya.

 Ketidakhadiran Prinsip Proportionality dan Dampaknya

Salah satu kelemahan utama dalam implementasi UU Hak Cipta di Indonesia adalah ketiadaan prinsip proportionality dalam menilai sejauh mana suatu pelanggaran terhadap hak cipta benar-benar layak dijatuhi sanksi atau diproses hukum. 

Tanpa prinsip ini, penerapan norma menjadi terlalu absolut, sehingga tidak mampu membedakan antara bentuk pelanggaran yang serius dan penggunaan yang bersifat sepele, insidental, atau bersifat sosial.

Dalam praktiknya, hal ini membuka ruang luas bagi penegakan hukum yang kaku dan represif, yang bisa menimpa masyarakat biasa yang sejatinya tidak memiliki niat untuk mengeksploitasi secara komersial suatu karya. 

Misalnya, penyelenggara pernikahan yang menyewa penyanyi untuk menyanyikan lagu populer tanpa membayar royalti dianggap melanggar hak cipta, walaupun tidak ada niat bisnis, penjualan tiket, atau bentuk keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pertunjukan tersebut. 

Akibatnya, hukum bisa menjerat warga biasa hanya karena mengikuti praktik sosial yang telah berlangsung turun-temurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun