Dalam dunia hukum hak cipta, dikenal pula konsep fair use atau fair dealing sebagai bentuk pengakuan terhadap adanya batas kewajaran dalam penggunaan karya cipta.Â
Di Amerika Serikat, misalnya, doktrin fair use memungkinkan penggunaan ciptaan tanpa izin untuk tujuan non-komersial, pendidikan, kritik, atau kegiatan pribadi, selama tidak merugikan nilai pasar dari karya tersebut.Â
Konsep ini mencerminkan upaya sistem hukum untuk tidak memberlakukan perlindungan hak cipta secara absolut, melainkan tetap mempertimbangkan aspek rasionalitas, keadilan, dan akses publik terhadap budaya.
Dengan demikian, landasan teori dalam tulisan ini berupaya mengaitkan hukum positif yang kaku dengan prinsip-prinsip keadilan substantif, dengan tujuan membangun argumen bahwa penegakan hukum yang tidak mempertimbangkan nalar sosial berpotensi mencederai legitimasi hukum itu sendiri.Â
Dalam konteks ini, UU Hak Cipta tidak cukup hanya ditegakkan berdasarkan teks pasal-pasalnya, melainkan harus dibaca ulang dalam terang proporsionalitas, rasionalitas, dan keadilan publik.
 Analisis UU No. 28 Tahun 2014: Antara Norma Legal dan Rasionalitas Sosial
UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 memuat aturan yang secara normatif memberikan hak eksklusif kepada pencipta untuk melarang atau mengizinkan orang lain menggunakan karyanya. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 9 ayat (2), yang menyatakan bahwa penggunaan ciptaan harus didasarkan pada izin dari pencipta atau pemegang hak.Â
Namun, Pasal 44 ayat (1) huruf d membuka pengecualian dalam hal penggunaan tersebut dilakukan dalam batas kewajaran sesuai dengan tujuan ciptaan tersebut.
Lebih lanjut, Pasal 43 sampai Pasal 51 menyebutkan beberapa bentuk penggunaan karya yang dikecualikan dari pelanggaran hak cipta, seperti untuk pendidikan, penelitian, kegiatan keagamaan, dan penyiaran berita. Namun, tidak satu pun dari ketentuan tersebut secara eksplisit mencakup kegiatan sosial-kultural seperti pernikahan atau hajatan masyarakat yang sifatnya non-komersial, namun melibatkan hiburan musik.
Kekosongan norma ini menciptakan celah yang diisi oleh interpretasi sepihak dari lembaga pemungut royalti atau aparat penegak hukum, yang bisa berujung pada penyalahgunaan hukum dan kriminalisasi aktivitas budaya masyarakat.
Contoh nyata ketegangan ini muncul dalam kasus yang dibahas di Mahkamah Konstitusi, ketika Hakim Arsul Sani mempertanyakan logika hukum yang mewajibkan pembayaran royalti dalam pesta pernikahan (KOMPAS.com, 30/06/2025).Â
Ia mengangkat pertanyaan mendasar: apakah menyanyi di depan ribuan tamu dalam pesta pernikahan yang bersifat privat namun megah, sama nilainya dengan konser berbayar dalam konteks komersial?Â