Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

KPR dan Kelas Sosial: Apakah Membeli Rumah Menandakan Naik Kelas?

16 Juni 2025   08:05 Diperbarui: 15 Juni 2025   23:45 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KPR. (Sumber: (KOMPAS.COM/Shutterstock))

Faktanya, "naik kelas" seharusnya meliputi sejumlah aspek: kesehatan yang terjaga karena mampu akses layanan terbaik, pendidikan anaknya (kalau sudah berkeluarga), keseimbangan kehidupan kerja, dan kemampuan melakukan investasi atau persiapan pensiun. 

Bila semua itu terbebani lantaran cicilan KPR memakan habis anggaran bulanan, maka ketercapaian statusnya bisa dipertanyakan.

Ada pula sisi psikologis. Tekanan membayar cicilan selama puluhan tahun bisa menyebabkan stres, mempengaruhi kualitas kehidupan. Saat distribusi penghasilan terfokus untuk kredit rumah, tanpa adanya buffer dana darurat, seseorang rentan terhadap krisis saat penghasilan turun---misalnya menghadapi PHK atau kondisi darurat.

Konspirasi Kredit: Menjerat atau Membebaskan?

Skema KPR, dari sudut pandang bank dan pengembang, adalah strategi cerdas: memberikan pinjaman jangka panjang sambil mengikat konsumen melalui bunga. Namun, tidak salah bila bagi sebagian orang, sistem ini terasa seperti jerat.

Orang dewasa berusia 25--35 tahun sering menambatkan dirinya ke KPR karena paradigma bahwa itu adalah bukti kesuksesan. 

Tapi tahukah mereka bahwa pengaruh KPR terhadap kondisi keuangan bisa menumpuk dan menimbulkan ketergantungan psikologis? Mengapa begitu?

Karena KPR melibatkan utang besar, biaya bunga jangka panjang, denda jika telat bayar, dan rincian administrasi berlapis. Semua ini mendorong individu untuk menuntaskan kewajiban setidaknya 20--30 tahun ke depan. 

Jika tidak diimbangi strategi keuangan yang sehat---seperti dana darurat, investasi, proteksi jiwa---seseorang bisa terjebak antara dua pilihan: "Bayar KPR atau mempertahankan kualitas hidup".

Apakah "Naik Kelas" Cukup diukur dari Rumah?

Ini pertanyaan krusial. Apakah definisi "naik kelas" cukup hanya membeli rumah? Atau seharusnya lebih luas: meliputi stabilitas finansial, mental, relasional, dan perlindungan masa depan?

Kita perlu memahami bahwa naik kelas sosial tidak hanya dilihat dari aset, melainkan dari kemampuan mengakses peluang dan sumber daya: akses pendidikan, kesehatan, jaringan profesional, dan kemerdekaan finansial. 

Rumah adalah satu dari banyak pilar. Bila hanya fokus rumah, kita bisa sampai pada posisi "financial fragility". Di satu sisi membanggakan, di sisi lain rawan risiko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun