Kekerasan Seksual dan Disabilitas: Lapisan Ganda Kerentanan
Oleh: Julianda Boang Manalu
Ketika kita membahas kekerasan seksual di Indonesia, acapkali yang terlintas adalah korban tanpa memperhatikan bahwa di antara mereka terdapat kelompok yang menghadapi tantangan jauh lebih kompleks: perempuan dan anak dengan disabilitas.Â
Mereka menghadapi dua lapis kerentanan---yang pertama karena identitas seksual dan gender sebagai perempuan atau anak, dan yang kedua karena disabilitas yang menghambat ruang gerak, akses informasi, hingga kemampuan mempertahankan diri. Dua lapis ini menciptakan risiko luar biasa; namun ironisnya, suara mereka kerap tenggelam di tengah kebisingan narasi publik.
Definisi dan Data yang Minim
Disabilitas, dalam perspektif sosial dan HAM, bukan hanya kondisi medis, tetapi juga posisi sosial yang terpinggirkan akibat praktek diskriminatif.Â
Menurut survei sensus teranyar, lebih dari 20 juta rakyat Indonesia hidup dengan disabilitas---dan sekitar setengahnya adalah perempuan.Â
Tidak semua tahu, namun berdasarkan berbagai penelitian terbatas, perempuan dan anak difabel memiliki risiko tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi menjadi korban kekerasan seksual dibandingkan mereka yang nondisabel.Â
Data yang ada pun, meski penting, sangat sedikit, karena banyak kasus tidak tercatat secara resmi: korban tidak berani melapor, tidak tahu haknya, atau tidak punya akses untuk mengadukan ke layanan yang benar-benar ramah disabilitas.
Hambatan Pelaporan dan Akses Layanan
Kekerasan seksual tidak akan berhenti jika tidak ada akses efektif bagi korban untuk melapor. Di sinilah salah satu lapisan kerentanan mereka terpapar: kantor polisi, puskesmas, hingga pusat layanan terpadu kekerasan sering kali tidak mempertimbangkan aksesibilitas.Â
Tanpa fasilitas pendamping atau teknologi bantu---seperti alat bantu dengar, komunikator simbol visual, atau interpreter bahasa isyarat---perempuan dan anak difabel menghadapi perjalanan panjang yang melelahkan hanya untuk mengatakan, "Saya butuh bantuan."
Misalnya, seorang anak tunarungu yang menjadi korban pelecehan seksual oleh kerabat dekatnya harus menuturkan trauma melalui keluarga atau penerjemah, sehingga detail kekerasan bisa hilang, melemahkan proses hukum.Â