Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Filosofis Membangun Indonesia: Dari Machiavelli ke Ibnu Khaldun

15 April 2025   14:59 Diperbarui: 15 April 2025   14:59 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Julianda BM

"Bangsa yang hanya sibuk membangun gedung, tapi lupa membangun nurani, sedang menyiapkan kehancurannya sendiri." (Julianda BM)

Saat kita bicara tentang pembangunan Indonesia, terlalu sering pembahasan berhenti pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, megaproyek infrastruktur, atau neraca perdagangan. Namun, bagaimana jika kita mencoba melihat Indonesia dari sudut pandang yang lebih dalam---dari lensa para filsuf besar dunia?

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang begitu kompleks. Skandal mega korupsi di sektor strategis, ketimpangan ekonomi yang tak kunjung teratasi, dan kebijakan publik yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Di tengah kondisi ini, rasanya kita butuh lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Kita butuh refleksi filosofis untuk mengingatkan kembali arah perjalanan bangsa.

Niccol Machiavelli, tokoh politik dari Renaisans Italia, menulis bahwa kekuasaan yang tidak mendengar rakyatnya, cepat atau lambat akan runtuh oleh bobotnya sendiri. Indonesia hari ini menyaksikan bagaimana kebijakan-kebijakan penting, seperti kenaikan harga BBM atau tarif listrik, bisa menimbulkan gelombang protes di masyarakat. Kebijakan tersebut sering dianggap jauh dari realitas hidup rakyat kecil.

Memang, bantuan sosial disediakan. Tetapi efektivitas dan ketepatannya masih jadi tanda tanya. Yang terasa justru jarak antara pengambil kebijakan dan rakyat yang kian melebar. Kita butuh pendekatan yang lebih membumi: kebijakan yang lahir bukan dari ruang tertutup para elit, tetapi dari suara-suara masyarakat yang paling terdampak.

Karl Marx juga punya peringatan penting: ketimpangan sosial yang dibiarkan terus tumbuh bisa melahirkan ketidakpuasan dan instabilitas. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menghapus kesenjangan. Banyak wilayah masih belum tersentuh infrastruktur dasar. Anak muda yang cerdas kesulitan mendapat pekerjaan layak. Kelas menengah urban tumbuh, tapi banyak keluarga di desa masih hidup dari pertanian subsisten.

Ketimpangan ini bukan hanya problem ekonomi. Ia juga soal keadilan. Jika pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir, maka rasa memiliki terhadap negara pun menipis. Untuk itu, perhatian terhadap UMKM, pelatihan kerja, dan pembangunan di luar Jawa harus menjadi prioritas yang serius dan konsisten.

Filsuf John Locke mengajarkan tentang kontrak sosial---bahwa negara ada untuk melindungi hak dasar warganya. Tetapi hari ini, banyak warga merasa justru negara lah yang menjadi sumber kekhawatiran. Korupsi masih menggerogoti kepercayaan. Penegakan hukum masih terasa tidak adil. Rakyat kecil mudah ditindak, sementara koruptor kelas kakap kerap lolos dari jerat hukum.

Di titik ini, kita harus bertanya: bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada negara jika rasa keadilannya terus dikhianati? Pemerintah dan lembaga hukum harus membuktikan bahwa mereka berpihak pada kepentingan publik, bukan segelintir elite.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun