Oleh:Â Julianda BM
"Bangsa yang hanya sibuk membangun gedung, tapi lupa membangun nurani, sedang menyiapkan kehancurannya sendiri." (Julianda BM)
Saat kita bicara tentang pembangunan Indonesia, terlalu sering pembahasan berhenti pada angka-angka pertumbuhan ekonomi, megaproyek infrastruktur, atau neraca perdagangan. Namun, bagaimana jika kita mencoba melihat Indonesia dari sudut pandang yang lebih dalam---dari lensa para filsuf besar dunia?
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan yang begitu kompleks. Skandal mega korupsi di sektor strategis, ketimpangan ekonomi yang tak kunjung teratasi, dan kebijakan publik yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Di tengah kondisi ini, rasanya kita butuh lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Kita butuh refleksi filosofis untuk mengingatkan kembali arah perjalanan bangsa.
Niccol Machiavelli, tokoh politik dari Renaisans Italia, menulis bahwa kekuasaan yang tidak mendengar rakyatnya, cepat atau lambat akan runtuh oleh bobotnya sendiri. Indonesia hari ini menyaksikan bagaimana kebijakan-kebijakan penting, seperti kenaikan harga BBM atau tarif listrik, bisa menimbulkan gelombang protes di masyarakat. Kebijakan tersebut sering dianggap jauh dari realitas hidup rakyat kecil.
Memang, bantuan sosial disediakan. Tetapi efektivitas dan ketepatannya masih jadi tanda tanya. Yang terasa justru jarak antara pengambil kebijakan dan rakyat yang kian melebar. Kita butuh pendekatan yang lebih membumi: kebijakan yang lahir bukan dari ruang tertutup para elit, tetapi dari suara-suara masyarakat yang paling terdampak.
Karl Marx juga punya peringatan penting: ketimpangan sosial yang dibiarkan terus tumbuh bisa melahirkan ketidakpuasan dan instabilitas. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menghapus kesenjangan. Banyak wilayah masih belum tersentuh infrastruktur dasar. Anak muda yang cerdas kesulitan mendapat pekerjaan layak. Kelas menengah urban tumbuh, tapi banyak keluarga di desa masih hidup dari pertanian subsisten.
Ketimpangan ini bukan hanya problem ekonomi. Ia juga soal keadilan. Jika pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir, maka rasa memiliki terhadap negara pun menipis. Untuk itu, perhatian terhadap UMKM, pelatihan kerja, dan pembangunan di luar Jawa harus menjadi prioritas yang serius dan konsisten.
Filsuf John Locke mengajarkan tentang kontrak sosial---bahwa negara ada untuk melindungi hak dasar warganya. Tetapi hari ini, banyak warga merasa justru negara lah yang menjadi sumber kekhawatiran. Korupsi masih menggerogoti kepercayaan. Penegakan hukum masih terasa tidak adil. Rakyat kecil mudah ditindak, sementara koruptor kelas kakap kerap lolos dari jerat hukum.
Di titik ini, kita harus bertanya: bagaimana mungkin rakyat bisa percaya pada negara jika rasa keadilannya terus dikhianati? Pemerintah dan lembaga hukum harus membuktikan bahwa mereka berpihak pada kepentingan publik, bukan segelintir elite.
Konfusius memberi pesan kuat bahwa pendidikan adalah akar stabilitas sosial. Tapi pendidikan di Indonesia masih menyimpan banyak PR. Dari guru honorer yang bergaji rendah, sekolah yang kekurangan fasilitas, hingga ketimpangan akses di daerah tertinggal. Padahal pendidikan yang baik tidak hanya melahirkan orang pintar, tetapi juga warga negara yang bermoral.
Pendidikan seharusnya jadi jalan untuk memutus rantai kemiskinan dan ketimpangan. Maka, meningkatkan kualitas guru, memperbaiki kurikulum, dan mendekatkan akses pendidikan ke pelosok adalah investasi jangka panjang yang tak boleh ditawar.
Ibnu Khaldun, sejarawan Muslim terkemuka, menulis bahwa pajak yang berlebihan dan tak adil justru bisa memperlemah negara. Di Indonesia, kesadaran pajak perlahan tumbuh, tetapi kepercayaan terhadap penggunaannya masih lemah. Bagaimana rakyat bisa semangat membayar pajak jika mereka melihat dana publik justru dikorupsi?
Kunci dari pajak yang sehat adalah transparansi dan akuntabilitas. Pajak seharusnya menjadi gotong royong untuk membangun negara, bukan menjadi beban yang menambah derita rakyat kecil. Untuk itu, reformasi perpajakan dan pengawasan penggunaan anggaran harus menjadi agenda berkelanjutan.
Refleksi dari para filsuf ini bukan untuk menggurui, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa membangun bangsa bukan hanya soal kebijakan dan proyek, melainkan tentang nilai. Tentang keadilan, moralitas, keberpihakan, dan empati. Bangsa yang besar bukan hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga kokoh secara etika.
Sebagai rakyat, kita pun punya peran penting. Membangun Indonesia bukan hanya tugas pemerintah. Setiap dari kita bisa mengambil peran---dalam profesi kita, di komunitas kita, atau bahkan lewat tulisan dan kritik konstruktif seperti ini. Demokrasi yang sehat lahir dari warga yang peduli, bukan dari mereka yang pasrah.
Akhirnya, refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan: Indonesia adalah negeri dengan potensi luar biasa. Namun potensi itu hanya bisa jadi kekuatan nyata jika dibarengi dengan kesadaran, kebijaksanaan, dan komitmen moral dari seluruh elemen bangsa. Karena seperti kata Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu membangun jiwanya sebelum membangun raganya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI