Mohon tunggu...
Woro Januarti
Woro Januarti Mohon Tunggu... Administrasi - Woro Januarti

Wuhan University

Selanjutnya

Tutup

Diary

Surat Cinta untuk Ibu Leila S Chudori

26 Mei 2021   14:56 Diperbarui: 26 Mei 2021   21:18 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Walaupun sudah begitu banyak ilmuwan dan tokoh yang membahas “Laut Bercerita,”

Tetapi dengan sedikit keberanian, saya ungkapkan melalui surat ini....

Dear, Ibu Leila S. Chudori

Saya harap kalimat pembuka ini dapat hinggap di tangan Ibu. Tangan yang melukiskan keindahan dan ketulusan dalam kisah Laut. Saya mengucapkan terima kasih atas kisah luar biasa ini. Tentang sekelumit kisah tahun 1998 di bagian kecil ruang Indonesia. Tentang darah pemuda yang menghentak-hentak, bergelora, membuncah dan meledak dalam satu kata “Perubahan.” Perubahan menjadi salah satu kata yang saya beri bold dan highlight di dalam “Laut Bercerita.” Perubahan menjadi napas bagi Laut, Sang Penyair, Bram, Kinan, Sunu, Julius, Alex, Daniel, Naratama, Anjani. Perubahan menjadi otot di dalam tubuh Indonesia. Jika otot menjadi lemah, maka Indonesia akan timpang selamanya.

Hal kedua curahan hati ini adalah bagaimana saya memaknai “Laut” dengan versi diri saya sendiri. Bagi saya, laut merupakan rumah untuk pulang. Air laut dan dalamnya ombak, terdapat begitu banyak kehidupan dan cerita. Laut menjadi representasi Indonesia yang hidup bersandarkan kepada kisah peradaban dan kebudayaan maritim. 

Bagaimana Laut menjadi bukti kebesaran Indonesia. Laut menjadi payudara yang menyusui masyarakat Indonesia. Amis, tetapi penuh dengan gizi luar biasa. Laut menjadi tempat pulang di saat Indonesia sudah mulai meninggalkan “filosofi laut”-nya. 

Filosofi leluhur yang mengandalkan kearifan kehidupan laut. Laut dan pulau-pulau yang bertebaran dan berkilau di Matahari Khatulistiwa, sayangnya saat ini harus menjadi pelarian kesadisan kaum kapitalisme. Bagaimana pulau-pulau menjadi barang yang diperjual belikan seharga tauge segenggaman tanah, hingga samudera Indonesia menjadi tempat pembuangan “Laut,” pemuda mutiara Indonesia. 

Jika blitz Gusti merupakan gambaran penjual kilap pengkhianatan. Kilau blitz seperti gaya hidup modern yang membuat mata kita begitu silau akan dunia. Sehingga hidup dengan begitu mudah menghalalkan berbagai macam cara. Korupsi, pamer kehedonan, perang antar ideologi, taburan uang dan kerusakan lainnya. Blizt yang menggambarkan pengkhiatan masyarakat kita, terhadap kerusakan alam, manusia dan negara. Di sinilah, sosok Laut menjadi penyeimbang. Laut menjadi lambang kearifan perubahan, yang mengajak kita semua untuk kembali pulang. Kembali pulang untuk memberikan sedikit napas sederhana, bagi kehidupan dan Indonesia. 

 Ibu, walaupun saya di bagian pertengahan novel mengalami kegamangan, entah cerita yang tiba-tiba begitu flat, atau apa, tetapi begitu masuk di bagian Asmara Jati, novel ini seperti menarik saya kembali untuk pulang! Dari sinilah saya merasakan ikatan emosional antara Ibu Leila dan saya, aneh!. Saya menangis di saat membaca bagaimana masih tersisa dosen-dosen baik yang mengijinkan Laut menjalani sidang.

Saat itu saya membayangkan, betapa berat beban seorang Laut. Anak yang lahir dari keluarga baik-baik, harus berperang dengan dirinya: menjadi sumber masalah di dalam keluarga harmonisnya. Bagaimana tanggung jawabnya, sebagai anak yang dibesarkan dengan penuh cinta, harus berjuang melawan intimidasi kepadanya dan orangtuanya, demi Negara?. Negara yang nantinya mengangkasa, tetapi belum tentu menulis namanya di dalam buku sejarah?. Layakkah?

Terakhir Ibu, di saat membaca bagian epilog, saya merasa, kisah ini selesai dengan manis, legit dan sempurna. Ibu Leila melalui suara Laut, memberikan pesan hangat kepada kita semua, bahwa kisah pahit ini harus selesai dengan cara yang baik. Menata diri untuk kembali ke kedudukan spiritual tertinggi: Menjadi Manusia Sejati. Manusia yang terus belajar untuk meneruskan kehidupan dengan harmoni. 

Dengan memegang kitab suci berjudul "Kemanusiaan", Ibu Leila mengajak kita terus berjuang terhadap keadilan, berdamai dengan diri sendiri, dan kekuatan lainnya, untuk terus hidup dengan proporsional. Kitab Kemanusiaan itu seperti berisi lagu mitologi tentang Gugus Bintang Tujuh dan antares; bintang yang menjadi kompas bagi pelaut untuk melihat arah timur dan barat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun