Mohon tunggu...
Luki Harianto
Luki Harianto Mohon Tunggu... -

Lahir di Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kritiklah Gaya ‘Jaim’ untuk Pencitraan (Negatif), Bukan Mengkritik Pencitraan yang Positif

13 Maret 2015   18:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:42 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada media cetak dan sosial atau di layar TV, seseorang pengamat, pejabat, penyelenggara negara atau netizen sering memberi komentar semacam “Ah, itu kan hanya pencitraan” yang diikuti dengan komentar lanjutan, gestur tubuh atau mimik yang memberi persepsi negatif terhadap makna pencitraan. Misalnya, ketika presiden Jokowi blusukan ke pasar-pasar becek dan masuk ke lorong drainase di ibukota, saya pastikan ada yang berkomentar “Pak Jokowi kan sedang membuat pencitraan”.

Benarkah suatu tindakan atau prilaku yang diberi label ‘pencitraan’ adalah suatu tindakan yang selalu bermakna negatif dan seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pejabat publik atau penyelenggara negara? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajak saudara-saudara untuk mencoba melihat berbagai kemungkinan tujuan dari tindakan atau prilaku yang dianggap pencitraan tersebut kemudian memberi penilaian ada atau tidak adanya manfaat bagi masyarakat atas prilaku pencitraan berdasarkan tujuan tindakan pencitraan tersebut.

Pencitraan Negatif dan Positif.

Pertama kali, suatu tindakan yang bisa dianggap sebagai suatu pencitraan kita bagi atas dua kelompok tujuan yang berbeda, tetapi tidak saling ekslusif satu sama lain:

1.Pencitraan dengan tujuan untuk pribadi atau diri sendiri; dan

2.Pencitraan dengan tujuan agar ditiru dan diteladani.

Inti tulisan ini adalah membuka mata masyarakat bahwa pencitraan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri adalah pencitraan negatif yang sudah hampir membudaya sehingga bukan lagi dianggap sebagai prilaku pencitraan, melainkan dianggap sebagai prilaku normal dan wajar dimiliki oleh banyak orang. Sebaliknya prilaku mulia dan benar malah sering dikritik sebagai ‘pencitraan’ dengan konotasi negatif.

Banyak contoh tindakan dan prilaku dengan tujuan pencitraan pribadi atau diri sendiri. Misalnya prilaku memakai, membangun atau membeli barang-barang mewah (handphone, mobil, rumah) untuk memberi citra diri sebagai orang yang sudah ‘mapan’. Contoh yang lain, prilaku banyak pejabat publik dan anggota DPR(D) yang ‘jaim’ (jaga imej) dengan membeli atau sekedar meminta mobil mewah sebagai kendaraan dinasnya. Prilaku ini sudah dianggap biasa dan tidak dikomentari sebagai prilaku pencitraan (untuk dirinya sendiri) walaupun dikritik sebagai prilaku tidak peka terhadap rakyat miskin. Prilaku semacam ini juga sudah begitu merasuk, kalau tidak bisa disebut sudah membudaya di masyarakat, sehingga jarang atau tidak pernah lagi dikomentari sebagai prilaku atau tindakan pencitraan.

Suatu pencitraan dengan tujuan hanya untuk diri sendiri saya sebut pencitraan negatif. Sudah jelas pencitraan negatif tidak bermanfaat untuk masyarakat, bahkan saya yakin berdampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat. Mengapa demikian? Sebagai negara dengan sebagian besar rakyatnya masih di bawah garis kemiskinan, prilaku pencitraan negatif yang paling sering terlihat, yaitu prilaku ‘jaim’ dengan gaya hidup mewah; akan menimbulkan kecemburuan sosial dari kelompok marginal di masyarakat yang tidak mampu melakukan pencitraan diri melalui gaya hidup mewah karena terkendala keterbatasan ekonomi.

Ketika pencitraan diri untuk diri sendiri dengan gaya hidup mewah sudah dianggap wajar, bukan lagi dianggap sebagai pencitraan, dan individu-individu yang berprilaku demikian mayoritas adalah kaum yang berpunya (the haves) atau memiliki kedudukan terhormat, maka di alam bawah sadar kaum marginal ini, mereka akan berusaha meniru dan mencapai taraf ekonomi yang membuat mereka mampu berprilaku serupa, baik berusaha dengan cara-cara yang wajar atau berusaha dengan cara-cara yang melanggar hukum.

Contoh lain prilaku pencitraan melalui gaya hidup mewah yang dianggap wajar padahal berdampak negatif adalah prilaku membeli lebih dari satu rumah di kalangan ‘the haves’. Sebagai akibat prilaku ini, para developer perumahan menaksir dan menilai harga rumah-rumah yang mereka kembangkan berdasarkan daya beli kelompok ‘the haves’, bukan daya beli masyarakat umum. Akibatnya harga rumah semakin lama semakin menggila karena para developer akan terus membangun rumah yang mampu dibeli oleh kalangan menengah ke atas. Jangan harap mereka akan membangun rumah untuk buruh atau pegawai dengan gaji di bawah 5 juta.

Prilaku ‘jaim’ pamer kemewahan juga sering muncul dari alam bawah sadar seseorang di luar kaum marjinal, seseorang yang merasa (mungkin hanya merasa) sudah memiliki citra yang baik karena kedudukan atau kekayaannya sebagai orang terpandang. Padahal prilaku ini hanya kompensasi rasa rendah diri di masa lalu yang berubah menjadi rasa pongah ketika mendapat keberuntungan secara ekonomi di masa sekarang. Benda-benda mewah yang diasosiasikan dengan prilaku ‘jaim’ pun diburu oleh individu-individu yang demikian. Dengan prilaku gaya hidup mewah untuk pencitraan, gaji sebagai anggota DPR atau sebagai menteri pun tidak akan cukup untuk mengakomodasi gaya hidup mewah yang selalu meningkat sesuai dengan anggapan dan perasaan sendiri bahwa citra dirinya akan semakin naik.

Dari lain pihak, berbagai contoh prilaku pencitraan oleh pejabat publik atau individu-individu dengan posisi terpandang di masyarakat seringkali berbentuk prilaku gaya hidup sederhana, religius atau prilaku disiplin yang bertujuan agar ditiru dan diteladani oleh masyarakat yang sudah mengenal individu-individu tersebut. Semakin terpandang individu tersebut, semakin besar kemungkinan prilakunya akan ditiru dan diteladani. Pencitraan demikian saya sebut pencitraan positif.

Kita seharusnya salut pada pejabat publik atau penyelenggara negara yang merasa risih ketika diberi mobil mewah sebagai kendaraan dinas sehari-hari sehingga minta agar bisa menggunakan kendaraan lain yang tidak terlalu mewah. Walaupun barangkali ada unsur pencitraan negatif dari pejabat publik atau penyelenggara negara yang menolak mobil atau rumah dinas mewah, tetapi sebaiknya kita berpikir dan memandang penolakan mobil atau rumah mewah dinas dari sisi positif. Sesungguhnya, mobil apa pun yang diberikan, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia tetaplah sebuah barang mewah.

Peran Pemerintah

Bagaimana pemerintah bisa mengakomodasi dan membudayakan prilaku pencitraan yang positif dan sebaliknya mengeliminir prilaku pencitraan negatif, khususnya prilaku ‘jaim’ dengan gaya hidup mewah? Bagaimana pemerintah bisa mengimplementasikan pencitraan positif ke dalam sistem undang-undang dan administrasi negara? Banyak cara dan solusi untuk menjawab kedua pertanyaan ini.

Untuk mencegah gaya hidup mewah anggota DPRD dengan mobil dinas misalnya, seharusnya ada peraturan atau bahwa mobil mewah dengan kemampuan jelajah di daerah berbukit atau terpencil hanya diperuntukkan untuk DPRD pada pemda tertentu, atau sebagai kendaraan dinas bersama seluruh anggota DPRD yang ingin reses ke daerah berbukit atau sulit dilalui kendaraan biasa.

Untuk mencegah pembelian kendaraan dan rumah secara berlebihan di kalangan ‘the haves’, seharusnya ada peraturan pajak (pajak progresif), misalnya peraturan atau UU yang membuat nilai pembelian mobil atau rumah kedua menghabiskan biaya empat kali lipat nilai pembelian rumah pertama dengan tipe yang sama, nilai pembelian mobil atau rumah ketiga sama dengan sembilan kali nilai pembelian rumah pertama dengan tipe yang sama, dan seterusnya.

Selama ini belum pernah saya dengar ada anggota DPR(D) yang menolak mobil mewah dan hanya ingin menggunakan kendaraan Daihatsu Xenia atau Toyota Avanza sebagai mobil dinasnya? Padahal prilaku menggunakan mobil-mobil ‘kelas bawah’ semacam bisa menjadi contoh pencitraan positif. Seharusnya pemerintah menghentikan praktek pembelian mobil-mobil mewah untuk individu-individu yang menjadi pejabat publik atau penyelenggara, kecuali jika kendaraan tersebut adalah kendaraan dinas yang bisa digunakan secara kolektif atau untuk tamu-tamu manca negara yang memerlukan perlindungan dari mobil yang sistem keamanannya dirancang secara khusus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun