Mohon tunggu...
Liyana R.M
Liyana R.M Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Psikologi

Mari berdendang di lantunan elegi peremuk cita.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saviour Complex: Tenggelam dalam Kubangan Rasa Simpati

23 September 2025   00:44 Diperbarui: 23 September 2025   00:44 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/1_Kakak_7_Ponakan_(film)

Menjadi orang “baik” adalah suatu hal yang selalu dielu-elukan sedari kita kecil. Kita diajarkan untuk bersikap ramah, berempati pada sesama, menggunakan tiga kata ajaib (maaf, tolong, terima kasih) dan menolong tanpa pandang bulu. Keberlangsungan dari kebiasaan tersebut akan berdampak baik selama dilakukan sesuai dengan porsinya. Namun, pernahkah teman-teman menemukan seseorang yang selalu membantu orang lain bagaimapun caranya, bahkan sekalipun dia harus mengorbankan dirinya sendiri. Seseorang yang merasa harus selalu menolong semua orang tanpa memedulikan kondisi dirinya. Seseorang yang selalu merasa menjadi orang paling jahat sedunia ketika gagal membantu orang lain. Atau jangan-jangan seseorang itu adalah diri kamu sendiri?

Perkara-perkara tersebut merupakan gejala seseorang terjerat dalam fenomena saviour complex atau bisa disebut messiah complex. Saviour complex adalah sebuah pola pikir yang menggerakkan seseorang untuk selalu “menyelamatkan” orang lain, tidak peduli apakah bantuan tersebut sebenarnya diperlukan atau tidak. Kondisi ini berkaitan dengan pola perilaku, sikap, dan justifikasi moral internal yang mengatur bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks hubungan sosial atau kekuasaan. Fenomena ini biasanya tidak disadari oleh diri sendiri, sehingga keinginan yang membara untuk mengintervansi permasalahan orang lain tidak memadam dengan sendirinya sampai permasalahan tersebut diselesaikan sesuai dengan cara yang dia mau.

Banyak hal yang menjadi pertanda bahwa seseorang mengalami saviour complex, bahkan kebanyakan dari perilakunya lebih banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat. Berikut beberapa gejala seseorang mengidap saviour complex:

  • Selalu merasa harus merubah atau memperbaiki nasib orang lain

Perilaku ini merupakan hal yang paling sering ditemukan dalam kondisi saviour complex. Urgensi untuk selalu mencapuri permasalahan orang lain malah mencegah orang tersebut dalam berkembang. Pernyataan itu muncul karena perlunya kesadaran bahwa kita tidak dapat memaksakan kehendak kita dalam merubah orang lain, kecuali ia lah yang berusaha merubah keadannya sendiri. Jika kita berusaha menyelesaikan permasalahan seseorang sebelum orang tersebut berusaha, ia tidak akan bisa membangun kekuatannya sendiri hingga berujung pada kegagalan berkembang.

  • Tertarik kepada seseorang yang sedang mengalami kesulitan atau berada di lingkungan yang tidak sehat

Ketika seseorang terobsesi dalam “menyelamatkan” orang lain, ia akan memilih orang yang kurang beruntung dan mendapat nasib sial. Secara tidak sadar, ia seolah tertarik dengan orang-orang yang berkondisi tidak baik, karena akan menunjukkan ke superioritasnya dan memenuhi kepuasannya dalam membantu orang lain.

  • Sering berakhir di suatu hubungan sepihak

Saat orang-orang sadar dengan pribadi seorang saviour complex yang selalu memberi, mereka akan cenderung menjadi pihak yang selalu menerima. Hal ini terkadang menimbulkan hubungan yang tidak sehat dan sepihak, karena pengidap saviour complex seringkali tidak menetapkan batasan pada apa yang mereka beri.

  • Membuat pengorbanan diri yang berlebihan

Orang yang memberikan begitu banyak waktu, energi, dan sumber dayanya dalam jangka panjang. Ketika orang tersebut tetap mencoba menyelamatkan orang lain dengan sumber daya yang sudah terkuras, ia sendiri bisa berakhir dalam posisi yang tidak menguntungkan. Acapkali, orang yang dibantu tidak mengulurkan tangan kembali dan membiarkan ia tenggelam sendiri.

  • Membantu dengan alasan keliru

Ketergantungan pada pengakuan eksternal hingga rela mengorbankan kebutuhan dan keinginan pribadi demi menyenangkan orang lain akan menjadi camilan empuk bagi orang-orang yang cenderung menerima tanpa memberi timbal balik. Seseorang yang memiliki gejala saviour complex akan terus-menerus menyesuaikan dirinya berdasarkan opini orang lain. Ia merasa harga dirinya bergantung pada pendapat dan persetujuan orang lain. Bantuan yang diberikan tidak lagi dilandasi niat “menolong”, tetapi didasari oleh perasaan ingin dipuja dan disanjung seperti seorang pahlawan.

  • Merasa harus memecahkan semua permasalahan dan merupakan satu-satunya yang memiliki jawaban

Keinginan kuat untuk berperilaku altruistik ini biasanya mendorong pengidap savior complex untuk tidak merasa tenang sampai situasi tersebut terselesaikan. Ia cenderung menekan dirinya secara berlebihan agar hanya menyelesaikan masalah sesuai dengan cara pikir yang ia yakini. Jika hal tersebut gagal dan kurang sesuai dengan harapan, itu akan meninggalkan berbagai ekspektasi tidak realistis di benaknya dan pemikiran bahwa ia tidak pernah cukup.

Berdasarkan tanda-tanda yang tadi sudah dipaparkan, apakah kamu merasa familiar dengan perilaku seseorang yang pernah atau bahkan sering kamu temui? Salah satu contoh yang mengingatkan saya pada sindrom ini adalah karakter Moko di film 1 Kakak 7 Ponakan.  Penokohannya yang dibuat sangat heroik, bertanggung jawab, dan rela berkorban sedikit banyak memiliki kemiripan dengan saviour complex. Selain fakta bahwa Moko juga merupakan pejuang sandwich generation yang terapit oleh keponakan, om, dan tantenya dalam berbagai masalah, khususnya beban finansial. Dalam beberapa adegan, Moko juga ditampilkan sebagai sosok yang merasa harus menanggung semuanya sendirian ketika sebenarnya beban itu bisa ia bagi. Maurin, pacar Moko, sering menyuruhnya untuk tidak membebani dirinya sendiri, tetapi Moko selalu merasa harus ia yang bertanggung jawab akan semua hal. Bahkan ia sampai mengubur mimpinya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dan nekat memutuskan hubungannya yang sangat sehat bersama Maurin dengan dalih ia tidak ingin pacarnya terkekang dan berhenti berkembang jika masih terikat dengan Moko. Ketika keponakan-keponakan Moko bekerja dengan kemauan mereka sendiri, Moko tidak setuju dan memaksa mereka untuk berhenti bekerja, katanya memang sudah tugasnya membiayai, tugas mereka hanya belajar. Padahal, dalam kondisi seperti itu, tidak ada salahnya untuk saling membantu dan menyokong pundak satu sama lain. Dari situlah karakter Moko yang merasa hanya caranya lah yang paling valid dalam memecahkan suatu permasalahan menjadi gambaran yang cukup jelas mengenai contoh seseorang yang mengalami saviour complex.

Setelah mendalami pengertian dan gejala dari saviour complex, kita juga perlu mempelajari hal-hal yang mendasari munculnya fenomena ini. Sejatinya, suatu fenomena dapat terjadi hampir pasti didasari pengalaman dan stimulus lainnya. Berikut adalah beberapa faktor penyebab timbulnya saviour complex:

  • Pengalaman masa lalu, terutama trauma, kehilangan, atau pengalaman sulit yang membuat seseorang merasa tidak berdaya dan mencari cara mengontrol situasi dengan membantu orang lain.
  • Kebutuhan akan validasi dari orang lain, di mana seseorang merasa penting dan dihargai jika terus-menerus membantu orang lain karena rendahnya rasa percaya diri.
  • Rasa superioritas atau merasa lebih mampu sehingga merasa wajib "menyelamatkan" orang lain dengan solusi yang dimiliki.
  • Dinamika keluarga atau pola asuh, misalnya sebagai anak sulung yang harus merawat anggota keluarga lain atau mengambil peran orang tua sejak kecil membuat dia merasa “bertanggung jawab” sepenuhnya.
  • Mekanisme pengalihan perhatian dari masalah pribadi dengan fokus membantu orang lain agar menghindari menghadapi rasa sakit atau stres sendiri.
  • Kesulitan menetapkan batasan diri, sulit mengatakan "tidak" pada permintaan bantuan, dan mengabaikan kebutuhan perawatan diri sendiri.
  • Rasa bersalah karena pernah gagal membantu seseorang penting dalam hidupnya sehingga terpaku pada peran penyelamat.
  • Kebutuhan merasa dibutuhkan, membuatnya sulit menerima ketidaktergantungan dari orang yang dibantu.

Mengubah perilaku dan pandangan terhadap diri sendiri serta lingkungan sekitar memang bukan hal yang mudah. Namun, savior complex dapat diatasi dengan langkah pertama yaitu menyadari bahwa kita memiliki perilaku tersebut, lalu secara sadar menantang kebiasaan itu saat sedang terjadi. Menyadari dan menerima keadaan diri sendiri merupakan langkah fundamental dalam proses pembentukan kesadaran diri yang utuh. Dengan pengakuan ini, seseorang dapat mulai mengevaluasi dan memperbaiki pola pikir serta perilaku secara bijaksana dan terarah. Langkah yang dapat kita lakukan, antara lain:

  • Berikan bantuan secara ringan. 

Tidak salah menawarkan bantuan saat masalah muncul, tetapi cobalah bersikap lebih pasif dengan mengatakan, "Saya ada jika kamu membutuhkan," dan biarkan orang lain menentukan kapan serta bagaimana bantuan itu diterima. Kadang, mengetahui ada seseorang yang siap membantu sudah cukup untuk melewati masa sulit.

  • Biarkan orang lain mengungkapkan apa yang mereka butuhkan. 

Dengan bertanya langsung pada mereka tentang apa yang paling membantu, kita mengurangi tekanan untuk selalu ‘benar’ dalam membantu dan membuka ruang komunikasi yang sebenarnya.

  • Ingatlah bahwa kita hanya bisa mengendalikan diri sendiri. 

Membedakan apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol akan membantu mengurangi kecemasan. Jika semua usaha sudah dilakukan, selebihnya biarkan berjalan tanpa kekhawatiran berlebihan.

  • Rawatlah diri sendiri

Sisihkan waktu dan energi yang sama untuk diri sendiri seperti saat kita membantu orang lain. Lakukan hal yang kita sukai, misalnya mengapresiasi seni, berolahraga, atau sekadar menikmati ketenangan.

  • Tetapkan batasan dalam memberi

Jika sering merasa perlu terjun membantu, pertimbangkan untuk melakukan kegiatan sukarela yang jelas ruang lingkupnya. Di sana, kebutuhan sudah terdefinisi, kita menjalankan tugas yang spesifik, lalu berhenti tanpa harus melewati batas kemampuan.

  • Ungkapkan pengalamanmu dengan terapis

Konseling bisa membantu kita memahami bagaimana perilaku savior complex mempengaruhi orang lain dan dirimu sendiri. Terapis juga akan membimbing kita belajar menetapkan batasan sehat dan menilai nilai dirimu tanpa bergantung pada seberapa banyak kita memberi.

Pada akhirnya, menyelamatkan diri dari savior complex berarti menjaga diri sendiri, membangun harga diri, dan menerima bahwa tidak segala sesuatu berjalan sesuai keinginan—dan itu hal adalah yang wajar. Terkadang gagal dan abai pada hal yang sebenarnya di luar ranah kita merupakan hal yang diperlukan. Tetaplah hidup, tetaplah bersuara, dan tetaplah berupaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun