Mohon tunggu...
Mustamsikin
Mustamsikin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Mencintai dunia literasi, berhubungan dengan buku dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Love

CINTA TANPA BUKTI, SEBUAH KEPALSUAN

23 Desember 2023   21:50 Diperbarui: 23 Desember 2023   22:17 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Cinta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan suka sekali, sayang benar, kasih sekali, dan rindu. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa cinta pasti dilandasi dengan rasa suka. Jika itu manusia kepada sesamanya maka itu perasaan sangat suka, sayang yang tulus, kasih yang lebih dan rindu. 

Persoalan tentang cinta dan mencintai memang akan selalu menarik dibahas. Ibarat sebuah benda ia tak akan pernah lekang oleh zaman dan tak lapuk oleh masa. Itulah cinta. 

Persoalannya cinta apakah perlu dibuktikan? Atau masihkan cukup hanya diungkapkan dengan lisan atau yang menggantikannya seperti tulisan? Masih relevan kah kata pemuda pada kekasihnya I Love U, atau I Miss U? Tanpa adanya bukti yang cukup? 

Jika menengok uraian Al-Ghazali (W. 505 H) sufi besar yang banyak menulis buku tentang cinta hamba kepada Tuhan, maka kita akan menemukan petuah bijak bestari terkait dengan cinta. Menurutnya cinta tanpa bukti adalah kepalsuan. Cinta tanpa adanya bukti adalah dusta. 

Dalam pandangannya tentu, mengarah pada ajaran Islam. Utamanya tentang keimanan. Al-Ghazali (w. 505 H), mengatakan, "Seseorang yang mengaku empat hal tanpa-dibuktikan- empat hal yang lain ia termasuk pendusta. Pertama, siapa yang mencintai surga tanpa taat beramal maka ia telah berdusta. Kedua, siapa yang mencintai Nabi Muhammad Saw namun tidak mencintai ulama dan orang miskin maka ia dusta. Ketiga, siapa yang mengaku takut masuk neraka akan tetapi tidak meninggalkan maksiat maka ia telah dusta. Keempat, siapa yang mengaku cinta pada Allah Swt. tetapi ia mengeluh dari cobaan maka ia telah dusta."

Secara eksplisit pernyataan Al-Ghazali (W. 505 H), dalam bukunya Ihya Ulumiddin, tersebut mengandung pemahaman bahwa sebuah pengakuan cinta harus dibuktikan. Tanpa bukti yang memadai seorang pecinta menjadi pendusta. 

Lebih lanjut, Al-Ghazali (W. 505 H), juga memberi penjelasan tentang kriteria pecinta sejati. Menurutnya, pecinta sejati pasti sepaham selalu cocok dengan yang dicintai dan pasti menjauhi yang menyelisihinya. Atau dalam pandangan Rabi'ah Al-Adawiyyah (W. 185 H) sufi perempuan, mencirikan seorang pecinta yang hakiki pasti taat pada yang dicintai. 

Menelisik penjelasan tokoh-tokoh di atas penulis menarik benang merah bahwa, lagi-lagi cinta harus dibuktikan. Entah cinta manusia dengan sesamanya. Manusia dengan binatang, maupun dengan benda mati yang dicintainya. Bahkan puncaknya cinta manusia kepada penciptanya. 

Bagi siapapun yang mengaku mencintai namun menolak disebut dengan pendusta haruslah ia membuktikan cintanya. Kalau laki-laki kepada kekasihnya menikah misalnya. Kalau guru kepada muridnya mengajari kebenaran dan melarangnya mendekati kebinasaan. Kalau hamba kepada Tuhannya menaati dan tidak mendurhakai-Nya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun