Mohon tunggu...
Listyo Yuwanto
Listyo Yuwanto Mohon Tunggu... Dosen

Penyuka Diorama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rakyat Bersuara, Rakyat Pesimis: Ketika Realita dan Narasi Berbeda

3 September 2025   06:29 Diperbarui: 3 September 2025   06:29 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kesenjangan Sosial (Sumber: Gemini)

            Judul di atas bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah teriakan sunyi yang menggema di lorong-lorong sempit permukiman kumuh, di warung-warung kopi tempat para buruh beristirahat, dan di ruang keluarga rakyat yang setiap bulan harus berhitung dengan kenaikan harga sembako. Suara dari mayoritas yang merasa teralienasi, yang menyaksikan sebuah paradoks besar bahwa pemerintah mengatakan baik-baik saja, sementara hidup mereka semakin susah.

            Narasi optimisme yang terus disuarakan dari podium-podium kekuasaan tentang pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan indeks-indeks makro lainnya, terasa kosong dan jauh dari realita. Rakyat kecil merasakan hal yang berbeda. Mereka merasakan ketimpangan yang kian menganga dan meningkatkan kepasrahan terhadap kondisi yang berulang dialami. Mereka merasakan beban pajak yang kian memberatkan, dari PPN yang menjerat kebutuhan pokok hingga beragam pungutan yang membuat rakyat kecil terengah-engah. Mereka menyaksikan para pejabat yang seolah hidup di negara berbeda, tidak peka, bahkan acuh, terhadap jeritan kesulitan yang dialami konstituennya.

            Peristiwa penjarahan yang menimpa anggota DPR baru-baru ini, meski sama sekali tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral, menjadi sebuah pameran tanpa direncanakan yang membeberkan sebuah kebenaran pahit. Masyarakat yang melihatnya bukan saja merasa terkejut, tetapi juga geram dan sakit hati. Betapa tidak? Dalam satu rumah seorang wakil rakyat, tersimpan harta benda yang nilainya mungkin setara dengan pendapatan seumur hidup ratusan bahkan ribuan rakyat yang diwakilinya. Kejadian tersebut adalah gambaran nyata dari ketimpangan sosial yang selama ini hanya menjadi wacana. Itu memunculkan pertanyaan mendasar apakah mereka yang duduk di kursi dewan benar-benar memahami dan merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya?. Sebelumnya mereka adalah penjual janji kampanye dan mengemis suara rakyat untuk bisa terpilih. Maka ke depan rakyat harus lebih cerdas dalam memilih calon wakilnya.

            Pertanyaan besarnya adalah Kapan Indonesia bisa sejahtera seperti negara-negara lain? Mengapa kita seolah tak juga bisa mencapai titik itu? Jawabannya kompleks, namun akarnya mungkin terletak pada beberapa hal. Pertama penyakit korupsi yang masih akut. Aliran dana rakyat untuk pembangunan dan kesejahteraan sering kali bocor di tengah jalan, disedot oleh segelintir elite yang rakus. Kedua kebijakan yang seringkali pro-kapital dan tidak populis. Rakyat kecil kerap menjadi penopang utama penerimaan negara melalui pajak, sementara insentif besar justru diberikan kepada pemodal besar. Ketiga krisis empati dan kepemimpinan. Seorang pemimpin bukan hanya mengelola angka-angka makroekonomi, tetapi juga harus mampu merasakan dan meringankan penderitaan rakyatnya. Ketika para pejabat lebih sibuk membangun citra dan menepuk dada sendiri, maka yang terjadi adalah keterputasan antara pemerintah dan rakyat.

            Pesimisme rakyat ini adalah lampu merah yang sangat berbahaya. Pesimisme adalah indikator bahwa kepercayaan, modal sosial terpenting sebuah bangsa, sedang terkikis. Pemerintah tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik data statistik dan menutup telinga dari keluhan riil rakyatnya. Jika pemerintah benar-benar mengatakan kondisi baik-baik saja, maka kebaikan itu harus dirasakan oleh semua lapisan, bukan hanya oleh segelintir orang yang berkumpul di puncak piramida kekuasaan. Kesejahteraan tidak bisa hanya diukur dari Gedung DPR yang megah atau proyek-proyek megah, tetapi dari kemampuan seorang nenek membeli beras dan obat, seorang anak muda mendapatkan pekerjaan yang layak, dan seorang buruh mampu menyekolahkan anaknya tanpa harus berhutang.

            Sudah waktunya pemerintah mendengar suara rakyat yang pesimis ini bukan sebagai aib yang harus ditutupi, tetapi sebagai diagnosis untuk memajukan dan menyejahterakan rakyatnya. Hanya dengan mengakui bahwa ada yang salah, dan dengan komitmen yang tulus untuk memperbaiki ketimpangan serta memberantas ketidakadilan, narasi baik-baik saja suatu saat nanti bisa menjadi kenyataan yang dirasakan oleh semua, dari istana negara hingga gubuk di pelosok desa. Tanpa itu pesimisme ini akan makin membesar dan menghabiskan sisa-sisa kepercayaan yang masih ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun