Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi

Lecturer ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Testimoni [Bukan] Warga Asli, Alasan Temanggung Menjadi Ideal untuk Slow Living

12 Desember 2024   21:45 Diperbarui: 13 Desember 2024   13:27 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temanggung | dokumen pribadi

Sebuah testimoni dari bukan warga asli, tetapi suka merasa memiliki.

Belakangan ini status media sosial teman-teman saya hampir serupa. Kompak. Isinya tentang sebuah kota yang baru-baru ini, menurut hasil analisis kompas, menjadi kota yang masuk kategori ideal untuk masa pensiun dan slow living.

Mengenal Temanggung yang Saya Tahu

Sepanjang saya menyebutkan Temanggung sebagai tempat tinggal, sering saya menemui tanya, "Di mana?"

Tidak sepopuler itu rupanya Temanggung di telinga orang-orang asing yang saya temui. Beberapa memang suka menebak, sayangnya salah lokasi. Sering dikira di timur jawa, padahal masih di tengah-tengah. Jawa Tengah.

Seperti kalimat di awal tulisan ini, saya bukan orang yang dilahirkan di Temanggung. Jadi tulisan ini hadir dari warga yang kebetulan dibesarkan dan bertumbuh di kota yang punya slogan "Bersenyum" alias Bersih, Sehat dan Nyaman untuk Umum. Tulisan yang tidak punya konflik kepentingan karena saya tulus ingin menceritakan dari sisi yang saya tahu.

Kota yang juga suka saya romantisasi dengan kalimat, "bukan tempat lahir tetapi pembuat rindu paling mahir."

Secara lokasi sebenarnya posisi kota ini cukup strategis, di antara Magelang dan Wonosobo. Dua kota yang juga selalu saya bawa-bawa agar mereka yang awam menjadi bisa membayangkan kota yang saya ceritakan.

Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Jaran Kepang, Tembakau, dan Kopi adalah bahasan yang kemudian selalu mengikuti agar semoga yang bisa dicetak tebal di pikiran lawan bicara saya. Menjadi bukti-bukti nyata bahwa Temanggung bukan sekadar kota yang dilewati lalu lupa, katanya.

Membayangkan Slow Living di Temanggung

Bersumber dari bacaan yang saya baca, slow living bisa diartikan sebagai hidup dengan penuh rasa sadar, tidak grusa-grusu, santuy kalau kata kamus masa kini. Sadar bahwa waktu yang berjalan pada akhirnya perlu diberi makna dengan tidak asyik dengan kesibukan. Kesibukan yang akhirnya membuat orang yang menjalaninya merasa, "waktu kok terasa begitu cepat?"

Adanya istilah slow living membuat orang-orang masa kini mendambakan bisa menjalaninya. Di tengah kesibukan sehari-hari seperti pekerjaan yang rasanya 24/7, kehidupan slow living menjadi salah satu cita-cita banyak orang. Diimpikan dan sampai dicari akan cocok dilakukan di mana?

Sebagai orang yang cukup lama tinggal di Temanggung, menanggapi hasil analisis itu saya berada perasaan antara. Antara senang karena kota yang selama ini menjadi saksi tumbuh kembang saya ternyata terbukti ideal menjadi kota untuk cita-cita hidup banyak orang, tetapi juga ada sedih karena takut jika kemudian orang berbondong-bondong menjadi tahu dan menjadi migrasi. Aha!

Menjalani slow living di kota Temanggung memang sangat bisa dilakukan. Jika dibayangkan, kota Temanggung itu kota yang paginya bisa dinikmati. Kota ini tidak terlalu berisik jadi jika memulai aktivitas seperti jalan kaki atau berlari adalah keniscayaan. Justru kadang dinginnya yang suka memeluk erat. Suasana yang membuat para penghuni memilih berteman dengan selimut.

Semenjak merantau, pulang ke Temanggung adalah simulasi saya menjalani slow living. Bangun sebelum matahari, salat subuh dengan air yang membuat automelek, lalu mengecek keluar untuk menyapa pemandangan Gunung Sumbing yang cantik ( syarat malam hujan, paginya cenderung cerah, biasanya saya tandai) adalah runutan aktivitas mengawali kehidupan yang saya lakukan sangat sadar.  

Selanjutnya..

Sekitar jam setengah enam pagi, biasanya Bapak dan Mama mengajak saya untuk olahraga ke Alun-alun (jaraknya kurang lebih 2 kilometer). Momen ini juga menyenangkan, karena udara Temanggung yang tidak berpolusi terhirup oleh paru-paru yang saya rasa jadi senyum-senyum sendiri saking senangnya terisi oksigen alami.

Sembari berolahraga, biasanya saya juga sempatkan mencicipi makanan yang saya jadikan target sasaran. Makanan seperti gudeg, krecek, kupat tahu, mi ayam, baso uleg, dan jajanan pasar adalah deretan yang suka saya panggil menuju perut saya. 

Dibandingkan dengan kota rantauan saya, harga makanan di Temanggung memang bisa dibilang cukup murah dan terjangkau. Bahkan soal rasa, lidah saya masih tidak bisa berpindah dari cita rasa yang ditinggalkan. 

Jalan pagi atau sesekali berlari lalu menikmati makanan yang saya sukai di sini bersama keluarga tercinta seperti secuil surga dunia yang bisa saya syukuri ketika pulang ke Temanggung.  

Apalagi waktu saya yang memang tidak bisa berlama-lama di Temanggung (untuk saat ini karena pekerjaan), membuat saya harus memastikan bahwa kualitas saya menjalani hari-hari di sini terisi dengan hal yang saya sukai dengan penuh kesadaran.

 Ya, walau ada banyak juga yang masih menjadi bahan obrolan cukup berat seperti UMK (Upah Minimum Kabupaten) yang berada di peringkat 29 dari 35 (sssstt jika dibandingkan dengan dua kota yang mengapitnya, Temanggung jadi terendah), kemudian isu yang juga hangat terkait keberadaan alun-alun yang tidak seperti alun-alin (lho?).

Kembali lagi pada hasil analisis, mudah-mudahan saya segera kembali, dan bisa benar-benar menikmati slow living di kota yang sudah terlanjur membuat saya jatuh hati pada suasana, makanan, orang-orang, dan semua yang ada di dalamnya.

Kalau kamu kapan mau membuktikan sendiri?

Salam,

Listhia H. Rahman

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun